Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

4 Apr 2013

MAKAM CINTA



( Published by : The Magazine Of MA. Matholi’ul Anwar )

“ MAKAM CINTA “
Oleh : Dewi Nurjanah

“ Hari yang cerah ! “ucapku sambil membuka jendela. Aku bergegas merapikan ranjangku dan membersihkan buku – buku yang berserakan di lantai kamarku.
          “ Oh my God, terlambat… “ aku segera berlari menuju kamar mandi. Hari ini ada diskusi, dan nampaknya aku terlambat lagi.
          “ Tok…tok…tok… “ ku ketuk pintu dengan rasa malu.
          “ Masuk Grey “ jawab Pevita.
          “ Cepat benar sang putrid berangkat. Seharusnya sepuluh menit lagi biar kita nunggunya genap satu jam “ ucap si judas Bambi.
          “ Uh, rasanya ingin ku plester mulut si Bambi itu. Meski aku terlambat, tapi ia tak semestinya bicara seperti itu “ rintihku dalam hati.
          Hari ini aku benar – benar sial. Sudah terlambat, menjadi bahan tertawaan Bambi, dan kini saat diskusi tak dapat tempat duduk pula. Sungguh miris. Terpaksa aku harus jadi antena. Upsss…sepertinya ada anggota baru, tapi…
          “ Hey Grey, aku Blaair. Aku anggota bartu di sini. Maaf ya, karena aku kau berdiri. Duduklah di sini, ini kan tempatmu “ ucap Blaair sambil berdiri dari tempat duduknya.
          “ Tak usahlah, siapapun berhak duduk di situ termasuk kamu “ jawabku malu – malu “. Aku sungguh tersanjung dengan sikap Blaair. Dia benar – benar pantas di sebut ksatria karena begitu eninggikan kaum hawa.
          Seusai diskusi aku dan Pevita berbincang – bincang di kantin kampusku.
          “ Astaga ! HP-ku ketinggalan “ ucapku sambil membongkar isi tasku.
          “ Kau cari saja di ruang diskusi, barangkali tertinggal di sana “ saran Pevita.
          “ Aku segera meluncur ke ruang diskusi. Di perjalanan menuju ke sana, ku lihat Blaair duduk sendirian di taman kampus sambil memainkan laptopnya. Aku beranikan diri menghampirinya, setidaknya aku bias jadikan ‘ terima kasih ‘ sebagai kambing hitamnya.
          “ Hey Blaair… “ sapaku dengan senyuman. Blaair bahkan enggan menjawabnya.
          “ Blaair, terima kasih yang tadi. Kau sungguh baik “ ucapku menyanjungnya. Blaair tetap memainkan laptopnya dan menganggap suaraku angin lalu.
          “ Kenapa kau tak gabung dengan teman – temanmu ? “ tanyaku sambil menahan kesal.
          “ Maaf Grey, tapi kau sangat menggangguku ! “ ucapnya pelan.
          Aku segera pergi meninggalkannya, dan kembali ke tujuanku. Setelah mengambil HP, aku bergegas ke kantin untuk menemui Pevita yang sudah jamuran menungguku.
          “ Kau dari mana saja Greyshia ? “ Tanya Pevita agak kesal.
          “ Aku tadi menemui Blaair, mengucapkan terima kasih kepadanya. Tapi tak ku sangka, Blaair itu ternyata lebih menyebalkan dari pada Bambi. Kau tahu, dia tadi tak menghiraukan sekatapun ucapanku, bahkan lebih parahnya dia mengusirku “ ucapku sangat kesal.
          “ Jangan diambil hati. Dia tak seburuk itu. Blaair yang sesungguhnya sangat ramah, seperti yang dilakukan saat di ruang diskusi tadi. Tapi semenjak Arabell meninggalkanya ke Skotlandia tiga tahun lalu, Blaair seakan anti dengan wanita bahkan dia jadi pelit bicara “ ujar Pevita menenangkanku.
          Sesampainya di rumah, aku terus terngiang ucapan Pevita. Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi di antara Blaair dan Arabell. Mengapa Blaair sampai sedemikian rupa ?. Aku berusaha mencari tau tentang mereka.
          Empat hari kemudian secara tak sengaja aku kembali bertemu dengan Blaair. Ku coba tanyakan sedikit kepadanya, meski dia akan menganggapku sok tahu atau apa sajalah.
          “ Hey Blaair, aku ingin bicara denganmu “ ucapku sambil berjalan mengejarnya. Blaair terus berjalan seakan tak menghiraukanku.
          “ Blaair, kau tahu Arabell itu sangat jahat. Untuk apa kau seperti ini ? semua itu tak akan mengembalikannya. Dia mungkin sudah melupakanmu, jadi untuk apa ka uterus menyiksa hatimu ? “ucapku lantang karena kesal. Blaair seketika berhenti berjalan mendengar ucapanku. Dia memandangku seperti monster yang siapmenelanku. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan padaku.
          “ Grey, terima kasih atas pujianmu ! “ ucapnya sambil berlalu meninggalkanku.
          Setelah jam kuliah selesai, aku segera pulang. Ku baringkan badan di atas ranjang sambil tiduran. Beberapa saat kemudian HP-ku berbunyi. Ku lihat ada SMS masuk. Kemudian ku baca. SMS itu berisi :
“ Tiada kesempurnaan tutur kata, meski terwakili seribu bahasa. Seperti halnya kata cinta, meski biasa namun begitu mengena “
          Ku abaikan SMS itu karena tak tercantum nama pengirimnya. Akupun melanjutkan tidurku. Ketika aku bangun, lagi – lagi SMS semacam itu masuk. Aku segera membacanya :
“ Sepenggal sajak cinta menyanjung jiwa, menerbangkan hati ke puncak nirwana. Sungguh aku kan meluka, karena Greyshia enggan member jawabnya “
          aku benar – benar geram dengan pengirimnya. Aku bahkan tak berniat membalasnya.
          Keesokan harinya, aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal berdiri di samping pintu kelasku. Akupun mempercepat langkahku. Setelah semakin dekat, ternyata…
          “ Blaair, apa yang kau lakukan di sini “ tanyaku penasaran.
          “ Aku menunggumu “ jawab Blaair singkat.
          “ Aku ??? “ tanyaku yang masih terheran – heran. Blaair mengajakku bicara di taman yang biasa ia singgahi.
          Seusai kuliah, akupun menghampirinya.
          “ Blaair, sebenarnya ada apa sich ? “ tanyaku yang masih penasaran.
          “ Kau jangan membuatku malu. Kenapa kau tak balas SMS-ku ? “ Blaair balik menanyaiku.
          “ SMS apa ? “ tanyaku yang masih bingung.
          “ Kau benar – benar ingin membuatku malu ya ? yang kemarin SMS itu aku. Grey, aku mencintaimu… “ ucap Blaair sambil tersenyum memandangiku.
          Aku sungguh ingin tertawa ketika melihatnya menyatakan cinta. Tapi aku tak tega, karena aku tahu butuh keberanian yang besar bagi Blaair untuk melakukannya.
          Empat hari kemudian, aku dan Blaair jadian. Semenjak saat itu aku semakin mengenalnya. Dia memang tak banyak bicara. Tapi bagiku ia adalah air tenang yang memberiku kesejukan. Dan itulah yang ku anggap kelebihan.
          Namun setelah tujuh bulan jadian, aku sering melihat Blaair pingsan. Dan da juga sering bolak – balik Jakarta – Bandung. Aku tak mau menanyakan hal itu padanya, jika ia tak ingin cerita. Ini adalah hari kelima Blaair tidak menghubungiku. HP-nya selalu mati. Ku tanyakan kepada teman – temannya pun percuma. Ia teramat pendiam sehingga tak punya banyak kawan. Aku begitu mencemaskannya. Aku takut sesuatu terjadi padanya.
          Sabtu sore ada ibu setengah baya mengantarkan surat ke rumahku. Dia bilang dari Blaair. Aku segera membacanya :
Di kerindangan kota Jakarta
Tertutup mendung menggantung lara
Sungguh ku ingin kau bahagia
Meski gerimis tak kunjung reda
                   Di peti cinta yang membawa
                   Sebongkah hati yang nelangsa
                   Ku kan tetap menjaga cinta
                   Meski dunia kan terbela
Wahai kau belahan jiwa…
Jangan kau tenggelamkan
Makam cinta…
Dengan air mata penambah lara
Karena hatiku…
Kan kian tersiksa “
          “ Ibu siapa ? “ dan apa maksudnya ini ? “ tanyaku kepada ibu tadi.
          “ Grey anakku, aku ibunya Blaair. Dia menulis surat itu empat bulan sebelum ia… “ ucap ibu itu terbata – bata.
          “ Sebelum apa, bu ? “ tanyaku penasaran.
          “ Grey, dua hari yang lalu Tuhan telah menjemput putraku “ ucap ibu itu sambil menangis memelukku.
          Air mataku seketika tumpah. Entah apa yang ku rasakan pada saat itu. Sedih, marah, tak percaya ? tapi ini adalah kenyataan yang menyakitkan.
          Keesokan harinya, ibu itu mengantarkanku di makam Blaair. Aku hampir tak sadarkan diri di makam Blaairnan sunyi.
          “ Blaair, kau itu terlampau lemah, hingga tak punya daya tuk menceritakan yang sesungguhnya “ rintihku di samping nisan Blaair.
          Meski hanya sekejap bersama, namun ku tetap bahagia. Karena Blaair masih kembali kepada yang Esa dengan cinta di hatinya.*


Lamongan, 2009

0 komentar:

Posting Komentar