(
Published by : The Magazine Of MA. Matholi’ul Anwar )
“ MAKAM
CINTA “
Oleh : Dewi Nurjanah
“ Hari yang cerah ! “ucapku sambil membuka jendela. Aku
bergegas merapikan ranjangku dan membersihkan buku – buku yang berserakan di
lantai kamarku.
“ Oh my God, terlambat… “ aku segera
berlari menuju kamar mandi. Hari ini ada diskusi, dan nampaknya aku terlambat
lagi.
“ Tok…tok…tok… “ ku ketuk pintu dengan
rasa malu.
“ Masuk Grey “ jawab Pevita.
“ Cepat benar sang putrid berangkat.
Seharusnya sepuluh menit lagi biar kita nunggunya genap satu jam “ ucap si
judas Bambi.
“ Uh, rasanya ingin ku plester mulut
si Bambi itu. Meski aku terlambat, tapi ia tak semestinya bicara seperti itu “
rintihku dalam hati.
Hari ini aku benar – benar sial. Sudah
terlambat, menjadi bahan tertawaan Bambi, dan kini saat diskusi tak dapat
tempat duduk pula. Sungguh miris. Terpaksa aku harus jadi antena.
Upsss…sepertinya ada anggota baru, tapi…
“ Hey Grey, aku Blaair. Aku anggota
bartu di sini. Maaf ya, karena aku kau berdiri. Duduklah di sini, ini kan
tempatmu “ ucap Blaair sambil berdiri dari tempat duduknya.
“ Tak usahlah, siapapun berhak duduk
di situ termasuk kamu “ jawabku malu – malu “. Aku sungguh tersanjung dengan
sikap Blaair. Dia benar – benar pantas di sebut ksatria karena begitu
eninggikan kaum hawa.
Seusai diskusi aku dan Pevita
berbincang – bincang di kantin kampusku.
“ Astaga ! HP-ku ketinggalan “ ucapku
sambil membongkar isi tasku.
“ Kau cari saja di ruang diskusi,
barangkali tertinggal di sana “ saran Pevita.
“ Aku segera meluncur ke ruang
diskusi. Di perjalanan menuju ke sana, ku lihat Blaair duduk sendirian di taman
kampus sambil memainkan laptopnya. Aku beranikan diri menghampirinya,
setidaknya aku bias jadikan ‘ terima kasih ‘ sebagai kambing hitamnya.
“ Hey Blaair… “ sapaku dengan
senyuman. Blaair bahkan enggan menjawabnya.
“ Blaair, terima kasih yang tadi. Kau
sungguh baik “ ucapku menyanjungnya. Blaair tetap memainkan laptopnya dan
menganggap suaraku angin lalu.
“ Kenapa kau tak gabung dengan teman –
temanmu ? “ tanyaku sambil menahan kesal.
“ Maaf Grey, tapi kau sangat
menggangguku ! “ ucapnya pelan.
Aku segera pergi meninggalkannya, dan
kembali ke tujuanku. Setelah mengambil HP, aku bergegas ke kantin untuk menemui
Pevita yang sudah jamuran menungguku.
“ Kau dari mana saja Greyshia ? “
Tanya Pevita agak kesal.
“ Aku tadi menemui Blaair, mengucapkan
terima kasih kepadanya. Tapi tak ku sangka, Blaair itu ternyata lebih
menyebalkan dari pada Bambi. Kau tahu, dia tadi tak menghiraukan sekatapun ucapanku,
bahkan lebih parahnya dia mengusirku “ ucapku sangat kesal.
“ Jangan diambil hati. Dia tak seburuk
itu. Blaair yang sesungguhnya sangat ramah, seperti yang dilakukan saat di
ruang diskusi tadi. Tapi semenjak Arabell meninggalkanya ke Skotlandia tiga
tahun lalu, Blaair seakan anti dengan wanita bahkan dia jadi pelit bicara “
ujar Pevita menenangkanku.
Sesampainya di rumah, aku terus
terngiang ucapan Pevita. Aku semakin penasaran dengan apa yang terjadi di
antara Blaair dan Arabell. Mengapa Blaair sampai sedemikian rupa ?. Aku
berusaha mencari tau tentang mereka.
Empat hari kemudian secara tak sengaja
aku kembali bertemu dengan Blaair. Ku coba tanyakan sedikit kepadanya, meski
dia akan menganggapku sok tahu atau apa sajalah.
“ Hey Blaair, aku ingin bicara
denganmu “ ucapku sambil berjalan mengejarnya. Blaair terus berjalan seakan tak
menghiraukanku.
“ Blaair, kau tahu Arabell itu sangat
jahat. Untuk apa kau seperti ini ? semua itu tak akan mengembalikannya. Dia
mungkin sudah melupakanmu, jadi untuk apa ka uterus menyiksa hatimu ? “ucapku
lantang karena kesal. Blaair seketika berhenti berjalan mendengar ucapanku. Dia
memandangku seperti monster yang siapmenelanku. Aku tak tahu apa yang akan dia
lakukan padaku.
“ Grey, terima kasih atas pujianmu ! “
ucapnya sambil berlalu meninggalkanku.
Setelah jam kuliah selesai, aku segera
pulang. Ku baringkan badan di atas ranjang sambil tiduran. Beberapa saat
kemudian HP-ku berbunyi. Ku lihat ada SMS masuk. Kemudian ku baca. SMS itu
berisi :
“
Tiada kesempurnaan tutur kata, meski terwakili seribu bahasa. Seperti halnya
kata cinta, meski biasa namun begitu mengena “
Ku abaikan SMS itu karena tak
tercantum nama pengirimnya. Akupun melanjutkan tidurku. Ketika aku bangun, lagi
– lagi SMS semacam itu masuk. Aku segera membacanya :
“
Sepenggal sajak cinta menyanjung jiwa, menerbangkan hati ke puncak nirwana.
Sungguh aku kan meluka, karena Greyshia enggan member jawabnya “
aku
benar – benar geram dengan pengirimnya. Aku bahkan tak berniat membalasnya.
Keesokan harinya, aku melihat
seseorang yang sepertinya aku kenal berdiri di samping pintu kelasku. Akupun
mempercepat langkahku. Setelah semakin dekat, ternyata…
“ Blaair, apa yang kau lakukan di sini
“ tanyaku penasaran.
“ Aku menunggumu “ jawab Blaair singkat.
“ Aku ??? “ tanyaku yang masih
terheran – heran. Blaair mengajakku bicara di taman yang biasa ia singgahi.
Seusai kuliah, akupun menghampirinya.
“ Blaair, sebenarnya ada apa sich ? “
tanyaku yang masih penasaran.
“ Kau jangan membuatku malu. Kenapa
kau tak balas SMS-ku ? “ Blaair balik menanyaiku.
“ SMS apa ? “ tanyaku yang masih
bingung.
“ Kau benar – benar ingin membuatku
malu ya ? yang kemarin SMS itu aku. Grey, aku mencintaimu… “ ucap Blaair sambil
tersenyum memandangiku.
Aku sungguh ingin tertawa ketika
melihatnya menyatakan cinta. Tapi aku tak tega, karena aku tahu butuh
keberanian yang besar bagi Blaair untuk melakukannya.
…
Empat hari kemudian, aku dan Blaair
jadian. Semenjak saat itu aku semakin mengenalnya. Dia memang tak banyak bicara.
Tapi bagiku ia adalah air tenang yang memberiku kesejukan. Dan itulah yang ku
anggap kelebihan.
Namun setelah tujuh bulan jadian, aku
sering melihat Blaair pingsan. Dan da juga sering bolak – balik Jakarta –
Bandung. Aku tak mau menanyakan hal itu padanya, jika ia tak ingin cerita. Ini
adalah hari kelima Blaair tidak menghubungiku. HP-nya selalu mati. Ku tanyakan
kepada teman – temannya pun percuma. Ia teramat pendiam sehingga tak punya
banyak kawan. Aku begitu mencemaskannya. Aku takut sesuatu terjadi padanya.
…
Sabtu sore ada ibu setengah baya
mengantarkan surat ke rumahku. Dia bilang dari Blaair. Aku segera membacanya :
“
Di kerindangan kota Jakarta
Tertutup
mendung menggantung lara
Sungguh
ku ingin kau bahagia
Meski
gerimis tak kunjung reda
Di peti cinta yang membawa
Sebongkah hati yang nelangsa
Ku kan tetap menjaga cinta
Meski dunia kan terbela
Wahai
kau belahan jiwa…
Jangan
kau tenggelamkan
Makam
cinta…
Dengan
air mata penambah lara
Karena
hatiku…
Kan
kian tersiksa “
“ Ibu siapa ? “ dan apa maksudnya ini
? “ tanyaku kepada ibu tadi.
“ Grey anakku, aku ibunya Blaair. Dia
menulis surat itu empat bulan sebelum ia… “ ucap ibu itu terbata – bata.
“ Sebelum apa, bu ? “ tanyaku
penasaran.
“ Grey, dua hari yang lalu Tuhan telah
menjemput putraku “ ucap ibu itu sambil menangis memelukku.
Air mataku seketika tumpah. Entah apa
yang ku rasakan pada saat itu. Sedih, marah, tak percaya ? tapi ini adalah
kenyataan yang menyakitkan.
…
Keesokan harinya, ibu itu
mengantarkanku di makam Blaair. Aku hampir tak sadarkan diri di makam Blaairnan
sunyi.
“ Blaair, kau itu terlampau lemah,
hingga tak punya daya tuk menceritakan yang sesungguhnya “ rintihku di samping
nisan Blaair.
Meski hanya sekejap bersama, namun ku
tetap bahagia. Karena Blaair masih kembali kepada yang Esa dengan cinta di
hatinya.*
Lamongan, 2009
0 komentar:
Posting Komentar