Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

10 Apr 2013

EKONOMI SYARIAH


“HARTA DALAM PERSPEKTIF SYARIAH”


5.1    PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN HARTA
A.   Pengertian Harta
 Berbagai macam pendapat tentang pengertian harta, antara lain :
1)      Harta secara umum ialah segala sesuatu yang disukai manusia, seperti hasil pertanian, perak atau emas, ternak, atau barang-barang lain yang termasuk perhiasan dunia. Adapun tujuan pokok dari harta itu ialah membantu untuk memakmurkan bumi dan mengabdi pada Allah SWT.
2)      Madzab Hanafi adalah sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat dapat dimanfaatkan, disimpan/dikuasai dan bersifat konkret.
3)      Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ‘uruf (adat).
4)      Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya. Kedua, bernilai harta.
5)      Hambali mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi. Kedua, dilindungi undang-undang.
6)      Harta (al-mal) menurut Imam Hanafiyahialah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan maka menurut Hanafiah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yam).
7)      Menurut para Fuqaha harta berdasar pada dua sendi yaitu unsur ‘aniyah dan unsur ‘urf. Unsur yang pertama adalah unsur ‘aniyah mempunyai maksud bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’ayan). Jadi manfaat dari suatu harta bukan termasuk harta seperti contoh bahwa sebuah rumah adalah harta tetapi manfaat yang ada dari rumah bukan sebuah harta tetapi termasuk milik atau hak. Unsur yang kedua yang membangun suatu harta adalah unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.
8)      Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, harta adalah:
a.       Nama selain manusia, yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dikelola (tasbarruf) dengan jalan ikhtiar.
b.      Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagian manusia.
c.       Sesuatu yang sah untuk dijual belikan
d.      Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga) seperti sebiji beras dapat dimiliki oleh manusia, dapat diambil kegunaannya dan dapat disimpan, tetapi sebiji beras menurut ‘urf tidak bernilai (berharga), maka sebuji beras tidak termasuk harta.
e.       Sesuatu yang berwujud, maka sesuatu yang tidak berwujud sekalipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta seperti manfaat, karena manfaat tidak berwujud, maka bukan harta.
f.       Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

 B.   Kedudukan Harta
Semua harta baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah (2) ayat 284 yang artinya, “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.
Dari arti ayat tersebut dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah SWT dalam hal:
1.         Esa dalam kekuasaan-Nya
Esa dalam kekuasaan-Nya maksudnya adalah apa yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatupun yang dapat mengubah kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, maka adalah dia. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatan hamba-Nya, serta mengampuni atau mengadzabnya, dan keputusan yang adil hanyalah di tangan-Nya saja.
2.         Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini
Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini maksudnya ialah Allah SWT mengetahui yang besar dan yang kecil, yang tampak dan tidak tampak oleh manusia. Segala yang terjadi, yang wujud di alam ini, maka wujudnya itu tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya.
3.         Esa dalam memiliki seluruh makhluk
Esa dalam memiliki seluruh makhluk maksudnya adalah hanya Allah SWT sajalah yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatupun yang berserikat dengan Dia.
Oleh sebab itu, Allah SWT memerintahkan agar manusia selalu mengawasi, meneliti dan merasakan apa yang ada di dalam hatinya. Bila yang ada itu sesuai dengan perintah Allah dan tidak berlawanan dengan larangan-larangan-Nya, maka peliharalah dan hidup suburkanlah dia sehingga mewujudkan amal yang baik. Sebaliknya, bila yang ada dalam hati bertentangan dengan perintah-perintah Allah atau memungkinkan seseorang mengerjakan larangan-Nya, hapuskan segera dan enyahkanlah yang demikian itu, sehingga tidak sampai mewujudkan perbuatan dosa.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hadid (57) ayat 7 yang artinya, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman kepada kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.
Berdasarkan ayat di atas yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.
Dengan demikian, semua harta yang ada di tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah, karena Dia yang menciptakan. Akan tetapi, Allah memberi hak kepada manusia untuk memanfaatkannya (hak pakai). Jelaslah bahwa dalam islam kepemilikan pribadi, baik atas barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal, sangat dihormati walaupun hakikatnya tidak mutlak, dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan dengan ajaran islam. Sementara itu dalam ekonomi kapitalis, kepemilikan bersifat mutlak dan pemanfaatannya pun bebas, sedangkan dalam ekonomi sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada kepemilikan negara.
Zakat adalah salah satu karakteristik ekonomi islam mengenai harta yang tidak terdapat dalam perkonomian lain. Selain perekonomian di luar islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam. Jika dalam ekonomi konvensional pemerintah memperoleh pendapatan dari sumber pajak, bea cukai dan pungutan, maka islam lebih memperkayanya dengan zakat, jizyah, kharas (pajak bumi) dan rampasan perang.
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya segala sesuatu adalah milik Allah SWT dan semuanya akan kembali kepada Allah sehingga semua aktivitas ekonomi baik produksi, konsumsi, dan distribusi harus senantiasa dikembalikan kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunah sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nur (24) ayat 64 yang artinya: “Ketahuilah sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan yang kamuberada di dalamnya (sekarang). Dan (mengetahui pula) hati (manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Dan Allah mengetahui segala sesuatu”.
Allah menutup Surah An-Nur ini setelah menerangkan bahwa Dialah pemberi cahaya bagi langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya dengan perantara Rosul-Rosul-Nya, dan mengancam orang-orang yang melanggar perintah-Nya dengan menegaskan bahwa milik-Nyalah segala yang ada di langit dan di bumi itu dan Dia mengetahui keadaan semua hamba-Nya dan akan memperhitungkan semua amal perbuatan mereka serta membalasnya. Perbuatan jahat deberi balasan yang setimpal dengan kejahatannya, dan perbuatan baik dibalas dengan berlipat ganda.

C.   Fungsi Harta
      1.            Berfungsi menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang mahdah, sebab untuk ibadah diperlukan alat-alat yang harus dimiliki demi terjadinya kelancaran ibadah.
      2.            Untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
      3.            Meneruskan (melangsungkan) kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.
      4.            Untuk menyelaraskan/menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.
      5.            Untuk mengembangkan dan menegakan ilmu-ilmu.
      6.            Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
      7.            Untuk menumbuhkan silaturrahim.

5.2     KEPEMILIKAN
A.   Pengertian Kepemilikan
Kalimat milkiyah menurut bahasa berarti memiliki atau mempunyai sesuatu, milkiyah dapat juga diartikan dengan memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya. Sedangkan milkiyah menurut istilah adalah suatu kekhususan yang dapat menghalangi yang lain, menurut hukum syara’ yang membenarkan bagi pemiliknya untuk bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada hal yang menghalanginya.
Salah satu karakter yang dimilik oleh setiap individu dalam kaitannya dengan kepentingan untuk dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya, yaitu adanya naluri (gharizah) untuk mempertahankan diri (gharizatul baqa’) disamping naluri mempertahankan diri (gharizatul nau’) dan naluri beragama (gharizatul tadayyun). Ekspresi dari adanya naluri mempertahankan diri tersebut adalah adanya kecenderungan dari seseorang untuk mencintai harta kekayaan. Keinginan untuk memiliki harta mendorong adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Berbagai aktivitas ekonomi muncul supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan semakin maju kehidupan masyarakat. Keinginan untuk dapat memiliki harta yang banyak mendorong seseorang mau bekerja keras pagi sampai malam pada berbagai bidang ekonomi. Fenomena ini juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imron (3) ayat 14 yang artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Sehingga islam dapat memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia untuk memiliki harta karena hal itu adalah suatu sunatullah. Hanya persoalannya adanya bagaimana seseorang dalam upaya untuk dapat memperoleh harta dan kemudian memanfaatkannya senantiasa selaras dengan aturan-aturan yang telah digariskan dalam islam. Permasalahan ekonomi dalam pandangan islam merupakan suatu upaya mencapai suatu kondisi kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keadilan dan kesejahteraan baik dalam konteks kehidupan manusia sebagai suatu individu maupun sosial, karena islam melihat persoalan hukum dan masalah ekonomi tidak memisahkan antara yang wajib diterapkan pada suatu komunitas dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia dalam pengertian yang sebenar-benarnya baik dalam arti materi maupun nonmateri, baik dunia maupun akhirat, baik individu maupun masyarakat.
Islam telah mengatur bagaimana mengelola sumber daya ekonomi agar tercapai suatu kondisi yang diidealkan di atas. Dalam kaitannya dengan pengaturan kekayaan, islam menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek pengelolaan dan pemanfaatannya, yaitu sebagai berikut:
1.         Pemanfaatan kekayaan.
Artinya bahwa kekayaan di bumi merupakan anugerah dari Allah SWT bagi kemakmuran dan kemaslahatan hidup manusia. Sehingga kekayaan yang dimiliki baik dalam lingkup pribadi, masyarakat dan negara harus benar-benar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Islam sangat menentang sikap hidup masyarakat dan kebijakan negara yang membiarkan dan menelantarkan sumber ekonomi dan kekayaan alam.
2.         Pembayaran zakat
Zakat merupakan suatu bentuk istrumen ekonomi yang berlandaskan syariat yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi di antara masyarakat agar tidak terjadi goncangan kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan mekanisme ekonomi dalam pengaturan aset-aset ekonomi masyarakat. Zakat merupakan suatu bentuk ketaatan seorang muslim terhadap aturan islam yang berdampak sosial.
3.         Penggunaan harta benda secara berfaedah
Sumber-sumber ekonomi yang dianugerahkan Allah SWT bagi manusia adalah merupakan wujud dari sifat kasih sayang-Nya. Sehingga pemanfaatan sumber-sumber ekonomi harus benar-benar digunakan bagi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam sangat mencela semua tindakan yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian hidup manusia.
4.         Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain
Penggunaan aset ekonomi senantiasa diorientasikan bagi kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Dalam perspektif ekonomi pemanfaatan sumber ekonomi di samping efisien juga harus mencapai Pareto optimality, artinya bahwa sumber daya ekonomi benar-benar dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup masyarakat.
5.         Memiliki harta benda secara sah
Hak seseorang dalam penggunaan harta harus benar-benar memerhatikan kaidah syariat. Tidak dibenarkan seseorang menggunakan harta yang bukan miliknya. Aturan syariat dalam penggunaan harta menjamin ketertiban hidup di tengah masyarakat.
6.         Penggunaan berimbang
Pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia menyangkut aspek jasmani dan rohani, dimensi manusiawi dan ukhrowi, aspek pribadi dan sosial. Penggunaan kekayaan harus senantiasa memerhatikan keseimbangan aspek-aspek tersebut agar dapat mencapai tingkap kemanfaatan yang optimal. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga seluruh aturan syariat pasti menjamin keseimbangan dalam kehidupan manusia.
7.         Pemanfaatan sesuai dengan hak
Pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan dengan prioritas dan kebutuhan yang tepat. Pilihan prioritas harus diterapkan secara baik agar dapat mencapai kebutuhan yang diinginkan. Kesalahan dalam menetapkan prioritas akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
8.         Kepentingan kehidupan
Pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan kepentingan kelangsungan hidup manusia. Islam telah membuat satu aturan yang rapi dan teratur menyangkut pemanfaatan dan penggunaan kekayaan termasuk dalam hal pengaturan harta waris.
Syaikh Taqyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sistem ekonomi diatur dalam suatu aturan yang dibangun atas tiga asas, yaitu:
1)        Konsep kepemilikan (Al-Milkiyah),
2)        pemanfaatan kepemilikan (Taharuf fi Al-Milkiyah), dan
3)        distribusi kekayaan di antara manusia (Tauzia’ Ats-Tsarwah bayna An-Nas).

B.   Konsep Kepemilikan
Islam memiliki pandangan yang khas mengenai masalah harta di mana setiap bentuk kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Demikian juga harta atau kekayaan di alam semesta ini yang telah  dianugerahkan semua untuk manusia, sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan seluruh umat manusia sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Pandangan ini bertolak belakang secara diametral dengan pandangan kapitalisme maupun sosialisme yang keduanya berakar pada pandangan yang sama yaitu materialisme. Artinya kekayaan yang dimiliki seseorang adalah hak milik mutlak baginya yang kemudian melahirkan pandangan kebebasan kepemilikan sebagai bagian dari pandangan hak asasi manusia (HAM).
Pada sisi lain, islam juga tidak selaras dengan pandangan sosialisme yang tidak menempatkan harkat dan martabat manusia pada proporsinya yang tidak mengakui hak milik individu.
Menurut Syaikh Taqiyyudin an-Nahbani ada tiga macam kepemilikan, yaitu :
1.         Kepemilikan individu (Milkiyah fardhiyah),
Kepemilikan individu (Milkiyah fardhiyah) adalah izin syariat pada individu untuk memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan kepemilikan (Asbab at-tamalluk) inividu yaitu, bekerja (al-‘amal), Pewarisan (kholafiyah), keperluan harta untuk mempertahankan hidup, pemberian negara (i’ thau ad-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal, harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
2.         Kepemilikan umum (Milkiyah ‘ammah),
Kepemilikan umum (Milkiyah ‘ammah) adalah izin syariat kepada masyarakat secara bersama-sama memanfaatkan suatu kekayaan berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, sumber energi (listrik, gas, bat bara, nuklir dan sebagainya), dan hasil hutan.
3.         Kepemilikan negara (milkiyah daulah)
Kepemilikan negara (milkiyah daulah) adalah izin syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Termasuk dalam ategori ini adalah harta ghanimah (perampasan perang), fa’i, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz (harta temuan), ‘ushr, harta orang murtad, harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah hak milik negara.
Sedangkan Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu :
1.      Kepemilikan Sempurna (Tamm).
Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Orang-orang yang mempunyai hak milik sempurna, bebas menggunakan harta yang ada dalam milikannya dan manfaat benda itu. Tiada sekatan terhadap harta tersebut melainkan sekatan-sekatan syara dan tidak ada seorang pun boleh mengambil harta  itu melainkan dengan kerelaan pemiliknya atau dengan ketetapan hukum syara, seperti jual beli, warisan dan wasiat. Juga termasuk ganti rugi dan keuntungan dari sebuah benda.
Kepemilikan ini atas benda sekaligus atas manfaatnya, pemilik memiliki hak mutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu, kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkan syara', seperti jual beli, mekanisme hukum waris, ataupun wasiat.
Berakhirnya pemilikan ini, yaitu bila pemiliknya wafat sehingga seluruh miliknya berpindah kepada ahli warisnya dan harta yang dimiliki itu rusak atau hilang.

2.      Kepemilikan kurang (naaqis).
 Kepemilikan kurang adalah kepemilikan yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Dengan kata lain hak milik tidak sempurna ialah pemilikan yang tidak memberikan hak sepenuhnya kepada pemiliknya. Kemungkinan pemilik al-naqis hanya memiliki manfaat sahaja sedangkan harta adalah milik orang lain atau memiliki harta sahaja sedangkan manfaatnya adalah milik orang lain, seperti sewa menyewa, pinjam meminjam dan wakaf. Walau bagaimanapun, kesan pemilik harta secara al-naqis menyebabkan mereka tidak boleh melakukan sesuka hati terhadap harta tersebut. . 

b.      Pemilikan tidak sempurna terbagi kepada dua jenis :
1)      Pemilikan harta saja tanpa manfaat (milk al-‘ain), yaitu materi benda dimiliki seseorang, sedangkan manfaatnya dimiliki orang lain.
2)      Pemilikan manfaat sahaja (milk al-manfaah), adalah seseorang hanya memiliki manfaat dari benda itu saja tanpa memiliki bendanya.
c.       Pemilikan jenis ini wujud dalam dua bentuk :
1)      Pemilikan manfaat secara individu ( manfaat al-syakhsi/al-intifa’ ) yang bermaksud seseorang mendapat manfaat dari sesuatu harta kerana dia menyewa atau meminjam daripada orang lain. Milik manfaat juga berlaku ke atas harta wakaf, wasiat dan harta yang diberi keizinan oleh pemilik penuh kepada orang lain untuk menggunakan atau mengambil manfaatnya.
2)      Pemilikan manfaat secara bersama ( hak irtifaq ). Menurut Fuqaha’, hak irtifaq berlaku dalam beberapa keadaan berikut :
a)      Hak penggunaan air minum ( haq al-syurb )
b)      Hak saluran air (haq al-majra)
c)      Hak membuang air sisa atau air berlebih (haq al-maisil)
d)     Hak lalu lintas(haq al-murur)
d.      Milik Naqis dibagi menjadi tiga:
1)      Milik ain saja, ain hanya dimiliki seseorang tetapi manfaatnya untuk orang lain sebagaimana orang yang berwasiat pada orang lain untuk menanami kebunnya. Dalam hal ini pemilik ain (benda) tidak dapat memanfaatkan benda itu.
2)       Milik manfaat syakhsyi atau hak memanfaatkan. Dalam hal ini terdapat lima sebab yakni i’aroh (pinjaman), ijaroh (sewaan), waqaf, wasiat dan ibahah (izin untuk merusak atau menggunakan sesuatu.
3)      Milik manfaat ain atau haq al-irtifaq yakni hak atas kebun untuk manfaat kebun lain seperti hak mengairi sawah lewat sawah orang lain.
e.       Pemilikan ini akan berakhir apabila:
1)      Habisnya masa berlaku pemanfaatan itu
2)      barang yang dimanfaatkan itu rusak atau hilang
3)      orang yang memanfaatkannya wafat.
4)      wafatnya pemilik harta apabila pemilikan manfaat dilakukan melalui pinjam meminjam dan sewa menyewa.

5.3     SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
Sebab-sebab adanya kepemilikan yang ditetapkan oleh hukum syara’ ada lima macam, yaitu :
a)         Bekerja (al-‘amal),
Kekayaan yang diperoleh melalui bekerja (al-‘amal) meliputi upaya menghidupkan tanah yang mati (ihya’u al-mawat), mencari bahan tambang, berburu, pialang (makelar), kerja sama mudhorobah, musyaqoh, pegawai negeri, atau swasta.
Kekayaan juga dapat diperoleh melalui ihyaul mawat, yaitu membuka lahan baru yang belum pernah dimiliki/dikerjakan orang lain. Ini berarti lahan tersebut belum dipunyai oleh siapapun, misalnya membuka hutan untuk pertanian.
Membuka lahan baru hukumnya boleh (jaiz) dan sesudah itu lahan menjadi hak miliknya. Rosulullah SAW bersabda, yang artinya, ”Dari Sa’id bin Zaid dari Nabi SAW bersabda : barang siapa yang menghidupkan tanha mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan orang yang mengalirkan air dengan dholim tidak mempunyai hak” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Turmudzi).
Sabda Rosulullah SAW yang artinya, “Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia mendapat pahala dan binatang yang makan tanamannya, ia mendapat nilai shodaqoh” (HR. An Nasa’i dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban).
Adapun membuka lahan baru yang sudah dimiliki oleh orang lain baik milk perorangan, kelompok atau organisasi lain, maka hukumnya adalah tidak sah dan perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang dholim. Rosulullah SAW bersabda yang artinya, “Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah dengan dholim, maka tanah itu akan dikalungkan kelak di hari kiamat tujuh bumi” (HR. Bukhori dan Muslim).

b)        Pewarisan (kholafiyah)
Yang dimaksud kholafiyah disini adalah pewarisan atau dengan kata lain bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru, di tempat yang telah lama atau hilang dalam berbagai macam hak. Adapun macam-macam kholafiyah itu ada dua macam, yakni :
    Kholafiyah syakhsyun ‘an syakhsyin, yaitu kholafiyah bermakna warisan. Adapun maksudnya adalah seseorang yang menerima warisan (al-warits) kedudukannya orang yang memberi warisan (al-muwarits), dalam hal memiliki atau menyatakan harta pustaka yang ditinggalkan oleh al-muwarits, oleh karena itu kepemilikan semisal berhukum sah dan tidak melanggar hukum syara’.
    Kholafiyah syaa’in ‘an syaa’in, yaitu kholafiyah bermakna tadhim atau ta’widh (menjamin kerugian) maksudnya adalah apabila seseorang merugikan barang milik orang lain seperti meminjam sepeda milik orang lain akhirnya di tengah jalan sepeda itu rusak, maka peminjam harus mengganti atas kerusakan sepeda tersebut.
c)         Keperluan harta untuk mempertahankan hidup,
d)        Pemberian negara (i’ thau ad-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal,
e)         Harta yang diperoleh individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan untuk khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.







Daftar Pustaka

·         Rivai, Veithzal & Buchari, Andi. 2009. Islamic Economics. Jakarta: PT Bumi Aksara

3 komentar:

Unknown mengatakan...

makasi y dewi,,,,,,,,
kmu cantik banget

Unknown mengatakan...

sama2 kawan......

dagnalaberge mengatakan...

Citizen Eco Drive Titanium Watch - India - TiGaming
【 MotoGP】 titanium watch apple watch stainless steel vs titanium 】 【 MotoGP】 titanium pipe 【 MotoGP】 】 【 MotoGP】 titanium coating 【 MotoGP】 【 babyliss pro titanium flat iron MotoGP】

Posting Komentar