BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia memerlukan sumberdaya
manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam
pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki
peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara
sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan
pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral,
sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di
Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata
kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill
dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill
daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan
karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Selama ini, pendidikan informal
terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam
mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta
didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan
kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam
pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah
pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada
tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai
yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya
sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di
mata masyarakat luas.
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang diatas kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah pendidikan karakter itu ?
2.
Bagaimanakah mekanisme pembentukan karakter ?
3.
Bagaimana proses penanaman pendidikan karakter ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran
agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan biasanya berawal saat
seorang bayi itu dilahirkan dan
berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir
seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca
ketika bayi dalam kandungan dengan harapan mereka bisa mengajar bayinya sebelum
kelahiran.
Fungsi Pendidikan adalah sebagai berikut :
·
Mengurangi pengendalian
orang tua
Melalui pendidikan sekolah, orang
tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
·
Menyediakan sarana
untuk pembangkangan
Sekolah memiliki potensi untuk
menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya
perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya
pendidikan seks dan sikap terbuka.
·
Mempertahankan sistem
kelas sosial
Pendidikan sekolah diharapkan dapat
mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise,
privilese,
dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran
mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai
dengan status orang tuanya.
·
Memperpanjang masa
remaja
Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat
masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang
tuanya.
2.2 Pengertian Karakter
Rutland mengemukakan bahwa karakter
berasal dari akar kata bahasa latin yang berarti “ dipahat ”. Sebuah kehidupan
seperti sebuah blok granit yang dengan hati-hati dipahat ataupun dipukul secara
sembarangan yang pada akhirnya menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing
yang rusak. Karakter gabungan dari kebijakan dan nilai-nilai yang dipahat di
dalam batu hidup tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya (Furqon
Hidayatullah M, 2010:12)
Secara harfiah
karakter artinya, “ Kualitas mental atau moral, kekuatan
moral, nama atau reputasi ”. Menurut kamus
lengkap bahasa indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat,
watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa,
1997: 281)
Karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu
yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat ( Ditjen Mandikdasmen - Kementerian Pendidikan Nasional ).
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I
UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional
adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia.
Karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dari beberapa pengertian tersebut
dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau
moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang
menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain.
Dengan demikian
dapat di kemukakan juga bahwa karakter pendidik adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak dan budi pekerti yang baik merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik dan yang menjadi pendorong dan penggerak dalam melakukan sesuatu. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.
dapat di kemukakan juga bahwa karakter pendidik adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak dan budi pekerti yang baik merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik dan yang menjadi pendorong dan penggerak dalam melakukan sesuatu. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya.
2.3 Pengertian Pendidikan Berkarakter
Jadi pengertian pendidikan karakter
adalah suatu usaha pengembangan dan mendidik karakter seseorang, yaitu
kejiwaan, akhlak dan budi pekerti sehingga menjadi lebih baik. Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster
optimal character development”.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan
karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Dasar pendidikan karakter ini,
sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli
psikologi sebagai usia emas ( golden age ), karena usia ini terbukti sangat
menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah
terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada
usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari
sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang
merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Sebenarnya dari dulu kita sudah
mempunyai pendidikan karakter yang berdasarkan pancasila sebagai dasar negara
kita, yaitu pelaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang kemudian berubah
menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
Peringatan Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) yang dimulai dengan digelarnya upacara bendera merah putih di
halaman Kantor Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Senayan, Jakarta,
Minggu Pagi (02/05), dijadikan momentum untuk melaksanakan revitalisasi
pendidikan karakter. Ini tercermin dari tema Hardiknas, yaitu; “Pendidikan
Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”.
Menurut Menteri Pendidikan Nasional
Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, tema tersebut sangat relevan dengan kondisi
terkini yang terjadi di tengah-tegah masyarakat Indonesia. “ Seringkali kita
jumpai fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat,
sehingga fenomena anomali yang sifatnya ironis paradoksal menjadi fenomena
keseharian, ” kata Mohammad Nuh. “Betapa tidak? Penegak hukum yang mestinya
harus menegakkan hukum, ternyata harus dihukum; para pendidik yang seharusnya
mendidik, malah harus dididik; para pejabat yang seharusnya melayani
masyarakat, malah minta dilayani; ini sebagain dari fenomena sirkus, dan ini
semua bersumber dari karakter, ” lanjut Mohammad Nuh. Karena itu, tegas
Mohammad Nuh, kita yakin dan menyadari tentang mendesaknya pendidikan karakter
sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa; karakter yang dijiwai
nilai-nilai luhur bangsa, dan nilai-nilai kemuliaan universal.
Beberapa negara yang telah
menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah:
Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini
menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara
sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Kita berharap dengan diadakannya
pendidikan karakter, semoga manusia - manusia Indonesia menjadi manusia yang
berkarakter baik dan berakhlak mulia, tidak ada lagi korupsi dan tindakan - tindakan
kekerasan yang melawan hukum dan norma-norma yang ada di negara kita.
2.4
Mekanisme
Pembentukan Karakter
1.
Unsur
Dalam Pembentukan Karakter
Unsur
terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di
dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya,
merupakan pelopor segalanya.
Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang
akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya.
Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran
universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya,
perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program
tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya
membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus
mendapatkan perhatian serius.
Pikiran
sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan
analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan
pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang
sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang
dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia
sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar
bersifat netral dan sugestif.
Untuk
memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious)
adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan
panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan
pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi
emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat
membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja
pikiran sadar semakin minimal.
Pikiran
sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan
apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari
hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya.
Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka
pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar
diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah
itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga
untuk
melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar.
Kita
ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin
terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang merasa depresi karena setelah
mendengar dan melihat berita tersebut, dia menalar berdasarkan kepercayaan yang
dipegang seperti berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk.
Saya adalah rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga
terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil penalaran di pikiran
sadar adalah kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa.
Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan perilaku destruktif,
bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan seperti pencurian dengan
beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula,
kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan kesan berbeda dengan
menambahkan contoh kalimat berikut ini, “........tapi aku punya banyak relasi orang-orang kaya yang siap
membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan
sehingga kesan ini dapat memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya
diri.
Dengan
memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran
menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke
arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu
kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus
kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan
penderitaan-penderitaan.
2.
Proses
Pembentukan Karakter
Secara
alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima
tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar
(subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan
stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang
tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter
sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri.
Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang
anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan.
Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan
bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan
itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya,
semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi,
internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang
akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat
menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious)
menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan
terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat
sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah
dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin
banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola
pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik
dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya
memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image),
dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan
selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan
terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya
tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka
kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita
ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki
konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa
takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu
melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa
melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh
lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.
Akan
tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan
mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya
bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi
setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan
orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang
bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat
mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian
hari.
Padahal,
jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka
mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai
dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi
belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu
pintar tetapi karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka
meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh
yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau
kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak
tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang
miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya,
anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak
berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika
dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab
keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan
bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang
mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang
dirasa lebih kaya.
2.5
Nilai
– Nilai Utama dalam Pendidikan Karakter
Nilai – nilai utama yang terdapat
dalam pendidikan karakter diantaranya adalah :
1.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a. Religius
2.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a. Jujur
b. Bertanggung
jawab
c. Bergaya
hidup sehat
d. Disiplin
e. Kerja
keras
f. Percaya
diri
g. Berjiwa
wirausaha
h. Berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i.
Mandiri
j.
Ingin tahu
k. Cinta
ilmu
3.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar
akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b. Patuh
pada aturan – aturan sosial
c. Menghargai
karya dan prestasi orang lain
d. Santun
e. Demokratis
4.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a. Peduli
sosial dan lingkungan
5.
Nilai
kebangsaan
a. Nasionalis
b. Menghargai
keberagaman
2.6
Tahapan
Pengembangan Karakter
Agar dapat berjalan efektif,
pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yaitu :
1. Desain
berbasis kelas
2. Desain
berbasis kultur sekolah
3. Desain
berbasis komunitas
Tujuan pendidikan karakter pada
dasarnya adalah mendorong lahirnya anak – anak yang baik (insan kamil). Tumbuh
dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan
kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan
melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Karakter dikembangkan melalui tahap
pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebisaan (habit). Seseorang
yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan
pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan
kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri.
Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (component of good
characters) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau
perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan
moral.
Dimensi – dimensi yang termasuk
dalam moral knowing yng akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral
(moral awareness), pengetahuan tentang nilai – nilai moral (knowing moral
values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral
reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri
(self knowledge).
Penguatan emosi berkaitan dengan
bentuk – bentuk sikap yang dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan
jati diri (consciense), percaya diri (selfesteem), kepekaan terhadap derita
orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri
(self control), kerendahan hati (humility).
Moral action merupakan tindakan
moral yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami
apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus dilihat tiga
aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan
kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu
system pendidikan adalah keterkaitan antara komponen – komponen karakter yang
mengandung nilai – nilaik perilaku yang dapat dilakukan atau bertindak secara
bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai – nilai perilaku
dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan
YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara serta dunia internasional.
2.7
Proses
Penanaman Pendidikan Karakter
1.
Orang
Yang Layak Mendidik Karakter
Sudah hukum alam, di dunia ini ada
benda yang baik dan rusak. Yang baik di gunakan hingga rusak. Yang rusak
diperbaiki lagi hingga baik kembali, lalu digunakan lagi. Untuk dapat menikmati
manfaat benda, nyaris tiap orang bisa. Untuk memperbaiki tak semua orang
sanggup. Dia harus ahli, setidaknya orang yang mampu dan paham. Di setiap
Negara ada UU-nya. Yang memperbaiki adalah ahlinya. Bila melanggar UU, sanksi
dan panismentnya ada bahkan hingga dipenjara.
Orang sakit tentu harus dokter yang
mengobati. Jika yang menangani bukan dokter, jadilah perkara karena hampir akan
membahayakan si sakit. Demikian pula dalam memperbaiki mesin, tidak semua bisa
dan mampu buka bengkel. Disamping harus ada modal dan lokasi, terutama juga
mesti adanya ahli mesinya. Begitu juga untuk memperbaiki barang-barang
elektronik lain, harus ada ahlinya. Begitulah untuk memperbaiki benda rusak,
memang harus ada yang mampu memperbaiki.
Begitu juga untuk memperbaiki perilaku
rusak. Harus oleh ahlinya. Pertanyaannya, siapa ahlinya ? Ini wilayah karakter
yang kita sulit menjawabnya. Hari ini tiap orang harus memperbaiki diri
sendiri. Soalnya, entah paham atau tidak, itu hal yang memilukan. Soalnya,
memperbaiki atau malah menambah runyam, itu masalah yang mengkawatirkan.
Soalnya, yang benar jadi keliru, yang salah malah jadi kebiasaan hingga ‘ jadi
kebenaran ’. Ini anomali, terbolak-balik dan mengerikan. Dampaknya jelas lebih
dahsyat dari sekedar konsekuensi.
Dalam kondisi seperti ini, tak
semua orang bisa tampil mendidik karakter.
Orang yang belum memperbaiki kekeliruanya, yang belum menebus kesalahan,
dan yang belum bertaubat, jelas berbahaya mendidik karakter. Apa hasilnya pendikan
karakter dilakukan oleh koruptor yang belum mengembalikan uang Negara, belum
mengakui salah dan belum meminta maaf. Begitu juga dengan pengusaha sukses yang
serakah. Juga tak kalah menjerumuskan politikus yang kutu loncat, atau pemarah,
pendendam, pendengki dan penghasut.
Untuk mau menjujurkan diri sendiri,
berbuat ma’ruf dan menjadi orang baik saja tidak mampu, bagaimana hendak
memperbaiki karakter orang lain. Ini problem berat kita. Kita harus temukan dan
praktekkan nilai baik dan buang keburukan. Kadang bisa kadang tidak karena
terus berproses. Padahal diri sendiri masih buruk. Orang serakah diminta
membangun harmoni sosial, bisakah ?.
Mendidik manusia memang berat dan
amat butuh kesabaran. Jauh lebih sulit ketimbang memperbaiki mesin rusak, rumah
bocor, atau tembok yang retak. Manusia punya fisik, punya akal, punya hati, dan
punya nafsu. Mudahkah mendisiplinkan pemalas ?. Ringankah menegakkan kejujuran
pada pengangguran. Bisakah sabarkan orang yang sedang lapar. Mudahkah
meredam kemarahan mereka yang di
gusur. Sanggupkah pengusaha untuk terus
berekspansi melahap apapun. Mudahkah masyarakat
mengikhlaskan melihat koruptor, lalu lalang kesana kemari. Siapa sanggup
mendidik pejabat yang sewenang - wenang.
Ini pertanyaan yang membuat nafas tersengal.
Mendidik manusia bukan sekedar
butuh guru, dosen, ustadz, pendeta, dan biksu. Yang kita butuhkan cuma ilmu.
Tak cukup itu. Ini mengajar, bukan mendidik. Untuk mendidik, sang pendidik
harus membuktikan bahwa dirinya memang telah mempratekkan apa yang di ajarkan.
Jika belum, itulah yang terjadi hari ini. Belajar agama sama dengan belajar
ilmu ekonomi, hanya sebagai pengetahuan.
Sama-sama banyak ilmu tinggi tetapi
hanya sebagai pengetahuan. Tidak dipakai untuk memperbaiki diri. Jarang guru
agama hari ini yang amalkan ilmunya
hingga berakhlak mulia. Karena itu akan susah bila hendak mendidik manusia jadi
baik dan jujur. Guru agama dan santri akhirnya kurang lebih juga sama. Bedanya
Cuma yang satu tinggi ilmunya, yang lain sedang
menimbah ilmu. Namun keduanya sama-sama tidak maksimal dalam
mengalmalkan ilmunya untuk memperbaiki diri.
Hasilnya lihat saja. Guru yang
hanya memberi ilmu, Cuma mengubah kompetensi murid. Banyak yang menguasai ilmu
doktoral, sebanyak itu pula yang berhasil. Banyak yang punya kedudukan,
sebanyak itu pula yang punya prestasi. Tapi perubahan prestatif itu ternyata
tidak mengubah prilaku. Yang sombong makin sombong. Yang kikir makin tamak.
Yang jahat makin terasa dholimnya karena
punya kedudukan.
Berubah dari tak punya apa-apa jadi
punya harta, punya kedudukan, dan punya jabatan penting. Tetapi prilaku tak
berubah bahkan tabiat makin menjadi - jadi. Dulu sampai tahun 70-an awal, jangankan
murid, orang tua dan masyarakat pun amat
hormat pada guru. Kini dimana - mana murid melawan guru. Sesama murid
gaduh, yang antar sekolah perkelahian malah benar-benar sudah berbunuhan. Yang
begitu pulang ke rumah, kini sudah bukan berita lagi, anak melawan orang tua.
Setelah lulus kemudian bekerja atau menjadi
pengusaha, perilaku negatif bermunculan. Bahkan menemukan bentuk terbaiknya
karena dikemas dalam kepiawaian manajemen. Keserakahan tak tampak karena
dikemas dalam holding industri hulu hilir. Kedengkian juga jadi shaleh karena
dibalut akuisisi dan merger. Karena tidak di ajar memahami kesulitan hidup,
para direktur tidak risih bila perbedaan gaji berpuluh kali lipat dibanding
staf bawah. Di perbankan kesenjanganya bisa seratus kali lipat.
Karena tidak diajarkan kejujuran,
korupsi terjadi di tiap lini. Membeli barang atas nama kantor, misalnya, bonus
atau diskon di ambil. Pemahamanya jelas bahwa itu memang miliknya. Alasanya
lain bukankah bonus itu keluar karena kepandaianya menawar. Padahal dia belanja
atas nama kantor. Inilah korupsi yang amat halus. Maka jangankan yang perlu etika dan pengertian. Yang jelas bukan
hak-haknya saja diambil, apalagi yang halus seperti itu.
Begitulah karena karakter terpuruk,
tidak lagi jelas batas-batas kehidupan. Yang benar disalahkan, yang salah
dibenarkan. Yang keliru dibela, yang benar difitnah. Yang kaya dihormati, entah
dia koruptor, pencuri kerah putih, atau politikus cari makan. Yang bisa memberi
uang diangkat menjadi pemimpin. Yang bersih tapi tak punya uang malah
disisihkan. Jika bicara untuk mengingatkan dianggap sakit hati. Maka yang
benar-benar punya jiwa kepemimpinan akhirnya dipasung.
2.
Pentingnya
Pendidikan Karakter
Dalam artikelnya yang berjudul “
Pendidikan Watak “, Mochtar Bukhori mencatat bahwa pendidikan karakter intinya
bertumpu pada dua hal. Pertama, pengendalian diri untuk melakukan apa yang menurut hati nuraninya
harus dilakukan. Kedua, pengendalian diri untuk tidak melakukan apa yang menurut
hati nurani tidak harus dilakukan.
Bicara nurani adalah bicara hati
tiap orang indonesia. Maka mulailah dari diri sendiri. Tak usah melihat kiri
kanan, atas bawah, depan belakang. Konsen pada diri sendiri. Bila Rhenald
Kasali mengatakan: “ mau berubah atau
dirubah ”, maka dalam kaitan dengan karakter : “ mau berubah atau tetap dalam
kerusakan ”.
Coba renungkan. Kesempatan terbaik
untuk mempelajari karakter adalah sepanjang usia yang telah dilalui. Jika waktu
itu telah berlalu tanpa pendidikan karakter, sekaranglah saatnya yang terbaik.
Mulai saat ini atau tidak sama sekali. Jika tidak, hanya ada dua konsekuensi. Pertama, anda menambah kerusakan. Dan
yang kedua anda pasti dirusak
lingkungan.
Karakter bukan lagi wacana. Ketidak
adaan karakter telah buktikan indonesia hari ini remuk. Maka masih berpikir
tentang karakter artinya hari-hari berulang dengan ketidak jelasan arah. Masih
menimang karakter, itu sikap setengah hati yang dalam waktu bersamaan kondisi
pun akan tetap tak berubah. Bukankah sepanjang usia yang telah berlalu itu,
satu kebiasaan demi kebiasaan telah tetap berjalan. Yakinlah kebiasaan itu
memang dalam koridor kebaikan ? Jika kebiasaan baik, mengapa Indonesia bisa
luluh lantak begini ?.
Jangan salahkan orang lain. Juga
jangan marah pada apa yang telah dikatakan dan dilakukan orang lain pada kita.
Tetapi resahlah karena kita tidak punya karakter. Maka saatnya kini kita harus
mendidik karakter. Mulailah dari diri sendiri. Jika orang lain tidak mau,
biarkan. Anda ditertawai, biarkanlah. Anda dicemooh, juga jangan terpancing. Anda
dikucilkan, percayalah badai pasti berlalu. Apalagi sekedar angin sepoi mamiri. Dan saat
dicemooh, bukankah karakter anda telah terdidik ?.
Anda tegar mendidik karakter,
artinya anda mulai mengurangi kemelut Indonesia. Cara menemukan nilai
pembentukan diri sendiri . Tentukan karakter, mulailah dengan melatih
karakter dasar. Cuma ada tiga nilai. Pertama, jangan egois. Kedua, jujur. Dan ketiga, disiplin. Silahkan anda melatih sesuai dengan kondisi yang
ada dilingkungan anda sendiri.
Dengan
mendidik tiga nilai itu, anda tengah
membangun karakter dasar dalam diri. Ini adalah fondasi utama utama.sebagai
pribadi yang tak egois, jujur dan disiplin, anda bukan hanya telah membentuk
diri anda agar tidak menjadi benalu atan bencana. Sesungguhnya anda telah
membentuk diri anda menjadi aset bagi siapapun.
3. Manfaat dari Pendidikan
Karakter
Sebagai
fondasi, manfaat Karakter dasar menempa setiap pribadi jadi paham dengan
dirinya, posisi, dan tugasnya. Tidak jadi apapun, seorang yang memiliki
karakter dasar tetap bermanfaat. Maka seperti dikatakan sebelumnya, pengangggur
berkarakter pun berbeda dengan penganggur kebanyakan. Bahkan penganggur
berkarakter tidak membuat kerusakan. Sedang orang pintar yang berkarakter malah
bisa membuat kerusakan.
Manfaat
kedua, siapa yang telah melatih karakter dasar, dia akan mudah menerima
karakter unggul. Apa saja nilai karakter unggul ? Itulah ikhlas, sabar,
bersyukur, tangggung jawab, berkorban, perbaiki diri dan sungguh-sungguh.
Dengan karakter unggul, otomatis seseorang telah keluar dari wilayah personal. Untuk kemudian menjadi sampul penggerak terjadinya
sinergi kejamaahan. Boleh dikatakan karakter unggul menjadi inti dari karakter
kelompok atau lembaga.
Manfaat yang
ketiga, penanaman karakter dasar sebagai fondasi, juga jadi landasan dasar untuk pengembangan karakter
pemimpin. Memang yang tak boleh dilupakan adalah bahwa setiap orang adalah
pemimpin, minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Untuk menjadi pemimpin
dengan sikap kepemimpinan, tahap awal yang harus dilalui adalah pembentukan
karakter unggul . Dan yang terakhir adalah mendidik karakter pemimpinya.
Masih ingat sembilan nilai
pembentukan karakter pemimpin ? Itulah adil, arif, kesatria, rendah hati,
sederhana, komunikatif, visioner, solutif dan inspiratif. Dengan sembilan nilai
itu , dijamin seorang pemimpin akan jadi pemimipin jempolan. Di rumah, bapak
sebagai kepala keluarga, dengan karakter pemimipin akan menghasilkan anak-anak
yang sadar posisi dan bertanggung
jawab.
Inti dari karakter unggul, terletak
pada ikhlas dan tanggung jawab. Sedang inti dari karakter pemimpin terpusat
pada adil dan ksatria. Maka bila seseorang mempunyai sifat tidak egois, ikhlas
dan adil, jadilah pemimpin yang baik. Mengapa selalu pemimpin ? Karena setiap
orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri.
Tsun Zu telah berpesan :
Karena sepotong paku lepas, maka kuda terjerembab
Karena kuda terjerembab informasi tidak sampai ke
garis depan
Karena informasi tidak sampai ke garis depan,
pasukan kalah perang
Karena pasukan kalah perang, negara jatuh ke tangan
asing.
Dalam sebuah tulisan, Yudi Latif
menggurat dengan bijak :
Kita adalah waktu
Yang setiap detiknya adalah kehilangan
Kecuali yang menanam biji kebaikan
Setiap kehilangan menumbuhkan pohon masa depan.
Begitu banyak orang yang berhasil
meraih kemenangan. Namun hanya sedikit yang bisa menggunakan kemenangan itu
dengan baik. Baik yang kaya, namun berapa banyak yang bisa menggunakan kekayaan
itu untuk kesejahteraan orang lain. Banyak yang pintar, tapi berapa banyak yang
tetap rendah hati. Jika engkau hendak membuat menara menjulang, mulailah dengan
menanam fondasinya yaitu kerendahan hati.
Knowledge is character. But
character more than it. Karakterlah yang membuat orang kaya menjadi dermawan
sejati. Karakter yang bisa tetap rendahkan hati orang pintar, orang penting,
dan orang yang berkedudukan. Karakter yang bisa mengubah pimpinan menjadi
pemimpin sesungguhnya. Karakter yang bisa mengubah kompetensi menjadi
bermanfaat besar bagi siapapun.
Yang mesti di ingat : ‘kompetensi
dapat diwariskan, tapi karakter tidak bisa’. Karakter hanya bisa dilakukan
dengan latihan dan pendidikan. Bukan di ajarkan semata.
BAB III
KESIMPULAN
3.1.
KESIMPULAN
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam
mekanisme pembentukan karakter, pikiran merupakan unsur yang paling penting, karena di dalamnya terdapat seluruh program yang
terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program
ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola
berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya
Proses
pembentukan karakter secara alami
dimulai sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga
sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga
pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa
saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian,
mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi
awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan
tertentu dan konsep diri.
Pendidikan
berkarakter merupakan upaya sistematis yang dirancang untuk membantu peserta
didik memahami nilai – nilai perilaku manusia, yaitu:
1) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
2) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
3) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan sesama
4) Nilai
karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
5) Nilai kebangsaan.
Agar dapat berjalan efektif,
pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yaitu :
1.
Desain berbasis kelas
2.
Desain berbasis kultur
sekolah
3.
Desain berbasis
komunitas.
Dalam mendidik karakter tidak bisa
sembarang orang. Terlebih ini wilayah karakter. Mendidik manusia bukan sekedar
butuh guru, dosen, ustadz, pendeta, dan biksu. Orang yang belum memperbaiki
kekeliruanya, yang belum menebus kesalahan, dan yang belum bertaubat, jelas
berbahaya mendidik karakter.
Pendidikan karakter saat ini
menjadi suatu fenomena yang sangat penting. Sebab ketidak adaan karakter telah
terbukti dengan melihat kondisi Indonesia saat ini yang remuk. Maka jangan
salahkan orang lain, jangan pula marah dengan apa yang dikatakan orang lain.
Sebab itu semua merupakan konsekuensi dari bangsa kita sendiri yang tidak
mempunyai karakter.
Maka saatnya kini kita harus
mendidik karakter. Mulai dari diri sendiri. Dengan cara melatih karakter dasar,
yaitu jangan egois, bersikap jujur dan disiplin.
Sebagai
fondasi, karakter dasar memiliki manfaat yang sangat penting. Diantaranya,
dapat menempa setiap pribadi jadi paham dengan dirinya, posisi, dan tugasnya.
Tidak jadi apapun, seorang yang memiliki karakter dasar tetap bermanfaat. Yang
kedua, siapa yang telah melatih karakter dasar, dia akan mudah menerima
karakter unggul. Karakter unggul yaitu : ikhlas, sabar, bersyukur, tangggung
jawab, berkorban, perbaiki diri dan sungguh-sungguh. Dan manfaat yang ketiga
adalah penanaman karakter dasar sebagai fondasi, juga jadi landasan dasar untuk pengembangan karakter
pemimpin.
3.2.
SARAN
Melihat
betapa pentingnya pendidikan karakter bagi suatu bangsa, hendaknya pemerintah serius
dalam menangani hal ini. Sebab kekacauan dan krisis multidimensi yang di alami
bangsa Indonesia saat ini juga merupakan bukti bahwa inilah konsekuensi bangsa
yang tidak memiliki karakter. Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu.
Dari sebuah penelitian di Amerika,
90% kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung
jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat
penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80% keberhasilan seseorang di
masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Jadi, bagi bangsa Indonesia sekarang
ini, hendaknya pendidikan karakter dilakukan dengan sungguh - sungguh,
sitematik dan berkelanjutan guna membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta
keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik
tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain,
tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran,
tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan
rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa
semangat berkontribusi bagi kemajuan
bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme.
Theodore Roosevelt mengatakan: “To
educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society”
(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah
ancaman mara - bahaya kepada masyarakat).
Jadi, Sekarang
saatnya mendidik karakter !!!!!!!
DAFTAR
PUSTAKA
Roesminingsih M.Pd, Prof. Dr. MV,
Susarno, M.Pd Drs. Lamijan Hadi. 2006. Teori
dan Praktek Pendidikan. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu
Pendidikan: Unesa Surabaya.
Sudewo, Arie. 2011. Character. PT. Gramedia: Jakarta.