Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

12 Apr 2013

PENDIDIKAN KARAKTER


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang Masalah
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap  jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
  
1.2.        Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apakah pendidikan karakter itu ?
2.      Bagaimanakah mekanisme pembentukan karakter ?
3.      Bagaimana proses penanaman pendidikan karakter ?


BAB II
PEMBAHASAN

1.1.         Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca ketika bayi dalam kandungan dengan harapan mereka bisa mengajar bayinya sebelum kelahiran.
                                    Fungsi Pendidikan  adalah sebagai berikut :
·         Mengurangi pengendalian orang tua
Melalui pendidikan sekolah, orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.
·         Menyediakan sarana untuk pembangkangan
Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
·         Mempertahankan sistem kelas sosial
Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
·         Memperpanjang masa remaja
Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.

2.2     Pengertian Karakter
Rutland mengemukakan bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang berarti “ dipahat ”. Sebuah kehidupan seperti sebuah blok granit yang dengan hati-hati dipahat ataupun dipukul secara sembarangan yang pada akhirnya menjadi sebuah  mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter gabungan dari kebijakan dan nilai-nilai yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya (Furqon Hidayatullah M, 2010:12)
Secara  harfiah  karakter  artinya, “ Kualitas  mental  atau  moral, kekuatan  moral,  nama  atau  reputasi ”. Menurut  kamus  lengkap  bahasa indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa, 1997: 281)
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,  bangsa  dan  negara.  Individu  yang  berkarakter  baik  adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat ( Ditjen Mandikdasmen - Kementerian Pendidikan Nasional ). Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam  pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. Dengan demikian
dapat di kemukakan juga bahwa karakter  pendidik adalah kualitas mental atau kekuatan  moral, akhlak dan budi pekerti yang baik merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik dan yang menjadi pendorong dan  penggerak dalam melakukan sesuatu. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki  masyarakat  serta  digunakan  sebagai  kekuatan  moral  dalam hidupnya.

2.3     Pengertian Pendidikan Berkarakter
Jadi pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha pengembangan dan mendidik karakter seseorang, yaitu kejiwaan, akhlak dan budi pekerti sehingga menjadi lebih baik. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas ( golden age ), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Sebenarnya dari dulu kita sudah mempunyai pendidikan karakter yang berdasarkan pancasila sebagai dasar negara kita, yaitu pelaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang kemudian berubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang dimulai dengan digelarnya upacara bendera merah putih di halaman Kantor Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Senayan, Jakarta, Minggu Pagi (02/05), dijadikan momentum untuk melaksanakan revitalisasi pendidikan karakter. Ini tercermin dari tema Hardiknas, yaitu; “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”.
Menurut Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, tema tersebut sangat relevan dengan kondisi terkini yang terjadi di tengah-tegah masyarakat Indonesia. “ Seringkali kita jumpai fenomena sirkus, yaitu tercerabutnya karakter asli dari masyarakat, sehingga fenomena anomali yang sifatnya ironis paradoksal menjadi fenomena keseharian, ” kata Mohammad Nuh. “Betapa tidak? Penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum, ternyata harus dihukum; para pendidik yang seharusnya mendidik, malah harus dididik; para pejabat yang seharusnya melayani masyarakat, malah minta dilayani; ini sebagain dari fenomena sirkus, dan ini semua bersumber dari karakter, ” lanjut Mohammad Nuh. Karena itu, tegas Mohammad Nuh, kita yakin dan menyadari tentang mendesaknya pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa; karakter yang dijiwai nilai-nilai luhur bangsa, dan nilai-nilai kemuliaan universal.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah: Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Kita berharap dengan diadakannya pendidikan karakter, semoga manusia - manusia Indonesia menjadi manusia yang berkarakter baik dan berakhlak mulia, tidak ada lagi korupsi dan tindakan - tindakan kekerasan yang melawan hukum dan norma-norma yang ada di negara kita.

2.4            Mekanisme Pembentukan Karakter
1.     Unsur Dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar.
Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang merasa depresi karena setelah mendengar dan melihat berita tersebut, dia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang seperti berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil penalaran di pikiran sadar adalah kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan seperti pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan kesan berbeda dengan menambahkan contoh kalimat berikut ini, “........tapi aku punya banyak relasi orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan sehingga kesan ini dapat memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan.

2.      Proses Pembentukan Karakter
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious) menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.

2.5            Nilai – Nilai Utama dalam Pendidikan Karakter
Nilai – nilai utama yang terdapat dalam pendidikan karakter diantaranya adalah :
1.      Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a.       Religius
2.      Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.       Jujur
b.      Bertanggung jawab
c.       Bergaya hidup sehat
d.      Disiplin
e.       Kerja keras
f.       Percaya diri
g.      Berjiwa wirausaha
h.      Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
i.         Mandiri
j.        Ingin tahu
k.      Cinta ilmu
3.      Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a.       Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
b.      Patuh pada aturan – aturan sosial
c.       Menghargai karya dan prestasi orang lain
d.      Santun
e.       Demokratis
4.      Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a.       Peduli sosial dan lingkungan
5.      Nilai kebangsaan
a.       Nasionalis
b.      Menghargai keberagaman

2.6            Tahapan Pengembangan Karakter
Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yaitu :
1.      Desain berbasis kelas
2.      Desain berbasis kultur sekolah
3.      Desain berbasis komunitas
Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak – anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebisaan (habit). Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (component of good characters) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan moral.
Dimensi – dimensi yang termasuk dalam moral knowing yng akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai – nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
Penguatan emosi berkaitan dengan bentuk – bentuk sikap yang dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (consciense), percaya diri (selfesteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).
Moral action merupakan tindakan moral yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu system pendidikan adalah keterkaitan antara komponen – komponen karakter yang mengandung nilai – nilaik perilaku yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai – nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan Negara serta dunia internasional.

2.7            Proses Penanaman Pendidikan Karakter
1.      Orang Yang Layak Mendidik Karakter
Sudah hukum alam, di dunia ini ada benda yang baik dan rusak. Yang baik di gunakan hingga rusak. Yang rusak diperbaiki lagi hingga baik kembali, lalu digunakan lagi. Untuk dapat menikmati manfaat benda, nyaris tiap orang bisa. Untuk memperbaiki tak semua orang sanggup. Dia harus ahli, setidaknya orang yang mampu dan paham. Di setiap Negara ada UU-nya. Yang memperbaiki adalah ahlinya. Bila melanggar UU, sanksi dan panismentnya ada bahkan hingga dipenjara.
Orang sakit tentu harus dokter yang mengobati. Jika yang menangani bukan dokter, jadilah perkara karena hampir akan membahayakan si sakit. Demikian pula dalam memperbaiki mesin, tidak semua bisa dan mampu buka bengkel. Disamping harus ada modal dan lokasi, terutama juga mesti adanya ahli mesinya. Begitu juga untuk memperbaiki barang-barang elektronik lain, harus ada ahlinya. Begitulah untuk memperbaiki benda rusak, memang harus ada yang mampu memperbaiki.
Begitu juga untuk memperbaiki perilaku rusak. Harus oleh ahlinya. Pertanyaannya, siapa ahlinya ? Ini wilayah karakter yang kita sulit menjawabnya. Hari ini tiap orang harus memperbaiki diri sendiri. Soalnya, entah paham atau tidak, itu hal yang memilukan. Soalnya, memperbaiki atau malah menambah runyam, itu masalah yang mengkawatirkan. Soalnya, yang benar jadi keliru, yang salah malah jadi kebiasaan hingga ‘ jadi kebenaran ’. Ini anomali, terbolak-balik dan mengerikan. Dampaknya jelas lebih dahsyat dari sekedar konsekuensi.
Dalam kondisi seperti ini, tak semua orang bisa tampil mendidik karakter.  Orang yang belum memperbaiki kekeliruanya, yang belum menebus kesalahan, dan yang belum bertaubat, jelas berbahaya mendidik karakter. Apa hasilnya pendikan karakter dilakukan oleh koruptor yang belum mengembalikan uang Negara, belum mengakui salah dan belum meminta maaf. Begitu juga dengan pengusaha sukses yang serakah. Juga tak kalah menjerumuskan politikus yang kutu loncat, atau pemarah, pendendam, pendengki dan penghasut.
Untuk mau menjujurkan diri sendiri, berbuat ma’ruf dan menjadi orang baik saja tidak mampu, bagaimana hendak memperbaiki karakter orang lain. Ini problem berat kita. Kita harus temukan dan praktekkan nilai baik dan buang keburukan. Kadang bisa kadang tidak karena terus berproses. Padahal diri sendiri masih buruk. Orang serakah diminta membangun harmoni sosial, bisakah ?.
Mendidik manusia memang berat dan amat butuh kesabaran. Jauh lebih sulit ketimbang memperbaiki mesin rusak, rumah bocor, atau tembok yang retak. Manusia punya fisik, punya akal, punya hati, dan punya nafsu. Mudahkah mendisiplinkan pemalas ?. Ringankah menegakkan kejujuran pada pengangguran. Bisakah sabarkan orang yang sedang lapar. Mudahkah meredam  kemarahan mereka yang di gusur.  Sanggupkah pengusaha untuk terus berekspansi melahap  apapun. Mudahkah masyarakat mengikhlaskan melihat koruptor, lalu lalang kesana kemari. Siapa sanggup mendidik pejabat  yang sewenang - wenang. Ini pertanyaan yang membuat nafas tersengal.
Mendidik manusia bukan sekedar butuh guru, dosen, ustadz, pendeta, dan biksu. Yang kita butuhkan cuma ilmu. Tak cukup itu. Ini mengajar, bukan mendidik. Untuk mendidik, sang pendidik harus membuktikan bahwa dirinya memang telah mempratekkan apa yang di ajarkan. Jika belum, itulah yang terjadi hari ini. Belajar agama sama dengan belajar ilmu ekonomi, hanya sebagai pengetahuan.
Sama-sama banyak ilmu tinggi tetapi hanya sebagai pengetahuan. Tidak dipakai untuk memperbaiki diri. Jarang guru agama hari ini yang amalkan  ilmunya hingga berakhlak mulia. Karena itu akan susah bila hendak mendidik manusia jadi baik dan jujur. Guru agama dan santri akhirnya kurang lebih juga sama. Bedanya Cuma yang satu tinggi ilmunya, yang lain sedang  menimbah ilmu. Namun keduanya sama-sama tidak maksimal dalam mengalmalkan ilmunya untuk memperbaiki diri.
Hasilnya lihat saja. Guru yang hanya memberi ilmu, Cuma mengubah kompetensi murid. Banyak yang menguasai ilmu doktoral, sebanyak itu pula yang berhasil. Banyak yang punya kedudukan, sebanyak itu pula yang punya prestasi. Tapi perubahan prestatif itu ternyata tidak mengubah prilaku. Yang sombong makin sombong. Yang kikir makin tamak. Yang jahat makin terasa dholimnya  karena punya kedudukan.
Berubah dari tak punya apa-apa jadi punya harta, punya kedudukan, dan punya jabatan penting. Tetapi prilaku tak berubah bahkan tabiat makin menjadi - jadi. Dulu sampai tahun 70-an awal, jangankan murid, orang tua dan masyarakat pun amat  hormat pada guru. Kini dimana - mana murid melawan guru. Sesama murid gaduh, yang antar sekolah perkelahian malah benar-benar sudah berbunuhan. Yang begitu pulang ke rumah, kini sudah bukan berita lagi, anak melawan orang tua.
Setelah  lulus kemudian bekerja atau menjadi pengusaha, perilaku negatif bermunculan. Bahkan menemukan bentuk terbaiknya karena dikemas dalam kepiawaian manajemen. Keserakahan tak tampak karena dikemas dalam holding industri hulu hilir. Kedengkian juga jadi shaleh karena dibalut akuisisi dan merger. Karena tidak di ajar memahami kesulitan hidup, para direktur tidak risih bila perbedaan gaji berpuluh kali lipat dibanding staf bawah. Di perbankan kesenjanganya bisa seratus kali lipat.
Karena tidak diajarkan kejujuran, korupsi terjadi di tiap lini. Membeli barang atas nama kantor, misalnya, bonus atau diskon di ambil. Pemahamanya jelas bahwa itu memang miliknya. Alasanya lain bukankah bonus itu keluar karena kepandaianya menawar. Padahal dia belanja atas nama kantor. Inilah korupsi yang amat halus. Maka jangankan yang  perlu etika dan pengertian. Yang jelas bukan hak-haknya saja diambil, apalagi yang halus seperti itu.
Begitulah karena karakter terpuruk, tidak lagi jelas batas-batas kehidupan. Yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Yang keliru dibela, yang benar difitnah. Yang kaya dihormati, entah dia koruptor, pencuri kerah putih, atau politikus cari makan. Yang bisa memberi uang diangkat menjadi pemimpin. Yang bersih tapi tak punya uang malah disisihkan. Jika bicara untuk mengingatkan dianggap sakit hati. Maka yang benar-benar punya jiwa kepemimpinan akhirnya dipasung.

2.      Pentingnya Pendidikan Karakter
Dalam artikelnya yang berjudul “ Pendidikan Watak “, Mochtar Bukhori mencatat bahwa pendidikan karakter intinya bertumpu pada dua hal. Pertama, pengendalian diri untuk melakukan apa yang menurut hati nuraninya harus dilakukan. Kedua, pengendalian diri untuk tidak melakukan apa yang menurut hati nurani tidak harus dilakukan.
Bicara nurani adalah bicara hati tiap orang indonesia. Maka mulailah dari diri sendiri. Tak usah melihat kiri kanan, atas bawah, depan belakang. Konsen pada diri sendiri. Bila Rhenald Kasali mengatakan:  “ mau berubah atau dirubah ”, maka dalam kaitan dengan karakter : “ mau berubah atau tetap dalam kerusakan ”.
Coba renungkan. Kesempatan terbaik untuk mempelajari karakter adalah sepanjang usia yang telah dilalui. Jika waktu itu telah berlalu tanpa pendidikan karakter, sekaranglah saatnya yang terbaik. Mulai saat ini atau tidak sama sekali. Jika tidak, hanya ada dua konsekuensi. Pertama, anda menambah kerusakan. Dan yang kedua anda pasti dirusak lingkungan.
Karakter bukan lagi wacana. Ketidak adaan karakter telah buktikan indonesia hari ini remuk. Maka masih berpikir tentang karakter artinya hari-hari berulang dengan ketidak jelasan arah. Masih menimang karakter, itu sikap setengah hati yang dalam waktu bersamaan kondisi pun akan tetap tak berubah. Bukankah sepanjang usia yang telah berlalu itu, satu kebiasaan demi kebiasaan telah tetap berjalan. Yakinlah kebiasaan itu memang dalam koridor kebaikan ? Jika kebiasaan baik, mengapa Indonesia bisa luluh lantak begini ?.
Jangan salahkan orang lain. Juga jangan marah pada apa yang telah dikatakan dan dilakukan orang lain pada kita. Tetapi resahlah karena kita tidak punya karakter. Maka saatnya kini kita harus mendidik karakter. Mulailah dari diri sendiri. Jika orang lain tidak mau, biarkan. Anda ditertawai, biarkanlah. Anda dicemooh, juga jangan terpancing. Anda dikucilkan, percayalah badai pasti berlalu. Apalagi  sekedar angin sepoi mamiri. Dan saat dicemooh, bukankah karakter anda telah terdidik ?.
Anda tegar mendidik karakter, artinya anda mulai mengurangi kemelut Indonesia. Cara menemukan nilai pembentukan diri sendiri . Tentukan karakter, mulailah dengan melatih karakter  dasar. Cuma ada tiga nilai. Pertama, jangan egois. Kedua, jujur. Dan ketiga, disiplin. Silahkan anda melatih sesuai dengan kondisi yang ada dilingkungan anda sendiri.
Dengan mendidik  tiga nilai itu, anda tengah membangun karakter dasar dalam diri. Ini adalah fondasi utama utama.sebagai pribadi yang tak egois, jujur dan disiplin, anda bukan hanya telah membentuk diri anda agar tidak menjadi benalu atan bencana. Sesungguhnya anda telah membentuk diri anda menjadi aset bagi siapapun.

3.      Manfaat dari Pendidikan Karakter
            Sebagai fondasi, manfaat Karakter dasar menempa setiap pribadi jadi paham dengan dirinya, posisi, dan tugasnya. Tidak jadi apapun, seorang yang memiliki karakter dasar tetap bermanfaat. Maka seperti dikatakan sebelumnya, pengangggur berkarakter pun berbeda dengan penganggur kebanyakan. Bahkan penganggur berkarakter tidak membuat kerusakan. Sedang orang pintar yang berkarakter malah bisa membuat kerusakan.
Manfaat kedua, siapa yang telah melatih karakter dasar, dia akan mudah menerima karakter unggul. Apa saja nilai karakter unggul ? Itulah ikhlas, sabar, bersyukur, tangggung jawab, berkorban, perbaiki diri dan sungguh-sungguh. Dengan karakter unggul, otomatis seseorang telah keluar dari wilayah personal. Untuk kemudian menjadi sampul penggerak terjadinya sinergi kejamaahan. Boleh dikatakan karakter unggul menjadi inti dari karakter kelompok atau  lembaga.
Manfaat yang ketiga, penanaman karakter dasar sebagai fondasi, juga jadi  landasan dasar untuk pengembangan karakter pemimpin. Memang yang tak boleh dilupakan adalah bahwa setiap orang adalah pemimpin, minimal menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Untuk menjadi pemimpin dengan sikap kepemimpinan, tahap awal yang harus dilalui adalah pembentukan karakter unggul . Dan yang terakhir adalah mendidik karakter pemimpinya.
Masih ingat sembilan nilai pembentukan karakter pemimpin ? Itulah adil, arif, kesatria, rendah hati, sederhana, komunikatif, visioner, solutif dan inspiratif. Dengan sembilan nilai itu , dijamin seorang pemimpin akan jadi pemimipin jempolan. Di rumah, bapak sebagai kepala keluarga, dengan karakter pemimipin akan menghasilkan anak-anak yang sadar posisi dan bertanggung  jawab. 
Inti dari karakter unggul, terletak pada ikhlas dan tanggung jawab. Sedang inti dari karakter pemimpin terpusat pada adil dan ksatria. Maka bila seseorang mempunyai sifat tidak egois, ikhlas dan adil, jadilah pemimpin yang baik. Mengapa selalu pemimpin ? Karena setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri.
Tsun Zu telah berpesan :
Karena sepotong paku lepas, maka kuda terjerembab
Karena kuda terjerembab informasi tidak sampai ke garis depan
Karena informasi tidak sampai ke garis depan, pasukan kalah perang
Karena pasukan kalah perang, negara jatuh ke tangan asing.
Dalam sebuah tulisan, Yudi Latif menggurat dengan bijak :
Kita adalah waktu
Yang setiap detiknya adalah kehilangan
Kecuali yang menanam biji kebaikan
Setiap kehilangan menumbuhkan pohon masa depan.
Begitu banyak orang yang berhasil meraih kemenangan. Namun hanya sedikit yang bisa menggunakan kemenangan itu dengan baik. Baik yang kaya, namun berapa banyak yang bisa menggunakan kekayaan itu untuk kesejahteraan orang lain. Banyak yang pintar, tapi berapa banyak yang tetap rendah hati. Jika engkau hendak membuat menara menjulang, mulailah dengan menanam fondasinya yaitu kerendahan hati.
Knowledge is character. But character more than it. Karakterlah yang membuat orang kaya menjadi dermawan sejati. Karakter yang bisa tetap rendahkan hati orang pintar, orang penting, dan orang yang berkedudukan. Karakter yang bisa mengubah pimpinan menjadi pemimpin sesungguhnya. Karakter yang bisa mengubah kompetensi menjadi bermanfaat besar bagi siapapun.
Yang mesti di ingat : ‘kompetensi dapat diwariskan, tapi karakter tidak bisa’. Karakter hanya bisa dilakukan dengan latihan dan pendidikan. Bukan di ajarkan semata.

BAB III
KESIMPULAN

3.1.         KESIMPULAN
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam mekanisme pembentukan karakter, pikiran merupakan unsur yang paling penting, karena di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya
Proses pembentukan karakter secara alami dimulai sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri.
Pendidikan berkarakter merupakan upaya sistematis yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami nilai – nilai perilaku manusia, yaitu:
1)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
2)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
3)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
4)      Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
5)       Nilai kebangsaan.
Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yaitu :
1.         Desain berbasis kelas
2.         Desain berbasis kultur sekolah
3.         Desain berbasis komunitas.
Dalam mendidik karakter tidak bisa sembarang orang. Terlebih ini wilayah karakter. Mendidik manusia bukan sekedar butuh guru, dosen, ustadz, pendeta, dan biksu. Orang yang belum memperbaiki kekeliruanya, yang belum menebus kesalahan, dan yang belum bertaubat, jelas berbahaya mendidik karakter.
Pendidikan karakter saat ini menjadi suatu fenomena yang sangat penting. Sebab ketidak adaan karakter telah terbukti dengan melihat kondisi Indonesia saat ini yang remuk. Maka jangan salahkan orang lain, jangan pula marah dengan apa yang dikatakan orang lain. Sebab itu semua merupakan konsekuensi dari bangsa kita sendiri yang tidak mempunyai karakter.
Maka saatnya kini kita harus mendidik karakter. Mulai dari diri sendiri. Dengan cara melatih karakter dasar, yaitu jangan egois, bersikap jujur dan disiplin.
Sebagai fondasi, karakter dasar memiliki manfaat yang sangat penting. Diantaranya, dapat menempa setiap pribadi jadi paham dengan dirinya, posisi, dan tugasnya. Tidak jadi apapun, seorang yang memiliki karakter dasar tetap bermanfaat. Yang kedua, siapa yang telah melatih karakter dasar, dia akan mudah menerima karakter unggul. Karakter unggul yaitu : ikhlas, sabar, bersyukur, tangggung jawab, berkorban, perbaiki diri dan sungguh-sungguh. Dan manfaat yang ketiga adalah penanaman karakter dasar sebagai fondasi, juga jadi  landasan dasar untuk pengembangan karakter pemimpin.

3.2.         SARAN
Melihat betapa pentingnya pendidikan karakter bagi suatu bangsa, hendaknya pemerintah serius dalam menangani hal ini. Sebab kekacauan dan krisis multidimensi yang di alami bangsa Indonesia saat ini juga merupakan bukti bahwa inilah konsekuensi bangsa yang tidak memiliki karakter. Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu.
Dari sebuah penelitian di Amerika, 90% kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80% keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Jadi, bagi bangsa Indonesia sekarang ini, hendaknya pendidikan karakter dilakukan dengan sungguh - sungguh, sitematik dan berkelanjutan guna membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme.
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara - bahaya kepada masyarakat).
Jadi, Sekarang saatnya mendidik karakter !!!!!!!


DAFTAR PUSTAKA

Roesminingsih M.Pd, Prof. Dr. MV, Susarno, M.Pd Drs. Lamijan Hadi. 2006. Teori dan Praktek Pendidikan. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Pendidikan: Unesa Surabaya.
Sudewo, Arie. 2011. Character. PT. Gramedia: Jakarta.