Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

20 Mei 2013

Sang Pendidik




“KOMITMEN DIRI SAYA MENJADI GURU YANG PROFESIONAL”

Menjadi seorang Guru. Entah sejak kapan aku mulai berani bermimpi menjadi seorang Guru. Bagiku, Guru bukan sekedar profesi, melainkan panggilan hati dimana tidak semua orang bisa ataupun beroleh kesempatan itu. Guru adalah profesi untuk orang-orang yang terpilih karena Guru adalah tangan kanan Tuhan.
Dahulu, aku tidak pernah membayangkan dan bahkan tidak pernah bercita-cita menjadi seorang Guru. Tak ada rencana, bahkan sampai aku masuk ke Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Tidak pernah terbersit dalam fikiranku bahwa kelak Universitas inilah yang akan mengantarkanku menjadi seorang Guru, Guru yang profesional.
Sejak kecil, aku memang tak pernah memiliki cita-cita menjadi seorang Guru. Tapi entah mengapa, sejak kecil pula aku mulai suka mengajar. Tepatnya ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sejak SD, aku mulai suka belajar bersama dengan saudara-saudara sepupuku dan tetangg aku, dan dalam proses belajar bersama itu aku yang selalu menjadi pengajar (Guru) bagi mereka. Maklum saja, di antara aku dan saudara-saudara sepupuku, aku adalah saudara tertua mereka. Rata-rata mereka adik kelasku, jadi dalam proses belajar akulah yang lebih sering mengajari mereka. Entah siapa yang menginspirasiku pada saat itu hingga aku sangat suka mengajar.
Mulai dari tingkat Sekolah Dasar, prestasiku boleh dibilang cukup membanggakan. Sejak SD aku mulai aktif dan aku tumbuh menjadi anak yang berani dan percaya diri. Oleh karena itu, tidak hanya prestasi akademik yang mampu aku raih, melainkan pula prestasi non-akademik.
Di bidang akademik, kelas 1 aku mendapat rangking 7. Itulah merupakan rangking terburukku selama SD sampai SMA. Setelah hanya mampu finish di urutan ke 7, kelas 2 aku mulai menunjukkan prestasi yang lebih gemilang. Ya, kelas 2 SD aku berhasil mendapatkan juara 2 di kelas. Di bidang non-akademik, aku sering didaulat untuk mewakili sekolahku dalam beberapa perlombaan tingkat kecamatan. Seperti lomba paduan suara, mengarang, kemah pramuka tingkat siaga se-kecamatan, paskibraka, dll. Semua itulah yang menjadi modal buat aku berani mengajar pada saat itu.
Prestasi yang gemilang juga aku lanjutkan hingga tingkat SMA. Ketika SMA aku sekolah di Madrasah Aliyah Matholi’ul Anwar Simo, salah satu madrasah aliyah terbaik di Kabupaten Lamongan. Ketika di aliyah, aku mulai merajut asa untuk bisa kuliah di Universitas Negeri Surabaya. Entah mengapa UNESA yang aku pilih, bukan universitas lain.
Ketika di aliyah, aku juga sering mengisi kelas dengan mengajar teman-temanku sendiri ketika jam mata pelajaran kosong. Hampir semua mata pelajaran IPS aku kuasai pada waktu itu, sehingga tidak sulit bagiku mengajar teman-temanku. Ketika di aliyah, mata pelajaran yang paling aku sukai adalah matematika, bahasa inggris dan ekonomi. Sehingga akupun sering mengajar teman-temanku mata pelajaran tersebut ketika jam pelajaran kosong. Walaupun pada dasarnya kesemua mata pelajaran yang aku sukai tersebut tidak disukai mayoritas temen-temen di kelasku. Tapi aku tidak pernah menyerah mengajari mereka. Sebab, aku berpandangan bahwa ketiga mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran yang mau tidak mau harus mereka pelajari dan kuasai sebagai bekal menyongsong Ujian Akhir Nasional, sehingga kalaupun hari ini mereka tidak mau mendengarkan aku berbicara di depan, kelak justru merekalah akan meminta aku untuk belajar bersama. Dan pada akhirnya ketika kelas tiga, mereka justru yang meminta aku mengajari mereka ketiga mata pelajaran tersebut. Luar biasa.
Sejak saat itu, aku semakin intens mengajar teman-temanku. Terlebih sejak kelas 2 sampai kelas 3 aku mendapatkan juara pertama di kelas, sehingga mereka tak segan mengajak aku belajar bersama bahkan mereka meminta aku mengajari mereka tiga mata pelajaran UN yang mereka rasa cukup sulit, yaitu matematika, bahasa inggris dan ekonomi. Alhamdulillah.....sejak saat itu, aku jatuh cinta lagi dengan dunia mengajar, meskipun sampai saat itu pula belum terbersit dalam pikiranku bahwa aku ingin menjadi seorang pendidik atau Guru.
Pada saat itu, cita-citaku adalah menjadi seorang pengusaha ataupun penulis novel. Tapi toh Tuhan berkendak lain, Tuhan telah membukakan jalanku untuk bisa masuk dalam persaingan ketat SNMPTN, dan akupun lolos di Universitas Negeri Surabaya, universitas impianku pada saat itu. Entah, mengapa UNESA yang aku pilih dan Jurusan Pendidikan Ekonomi yang aku minati ??? sampai sekarang aku tak tahu jawabannya. Ketika kelas 2 aliyah aku sangat teropsesi bisa mendapatkan beasiswa kuliah di UNESA, dan impian polos itulah yang pada akhirnya menghantarkanku ke altar suci Universitas impianku, Universitas Negeri Surabaya. Indah sekali.
Di dalam doaku, aku selalu meminta kepada Allah SWT; “jika ini adalah jalan takdir hamba, maka lapangkanlah Ya Allah...namun jika tidak, maka bimbinglah hamba dan tunjukkan jalan yang terbaik. Sesungguhnya hamba hanya bisa berusaha, sedang Engkaulah yang menentukan segalanya”. Itulah untaian doa yang tak pernah lupa aku panjatkan kepada Allah SWT dalam setiap sujudku.
Dan kini, setelah empat semester aku kuliah di jurusan pendidikan ekonomi Universitas Negeri Surabaya, aku baru mengenali dan memahami diriku sendiri. Ternyata inilah aku. Menjadi seorang pendidik adalah cinta yang tak terlihat. Cinta yang sekian lama aku rasakan tapi baru kini ku sadari. Menjadi seorang Guru adalah impianku sejak kecil, hanya saja pada waktu itu aku masih terlau naif dan masih menganggap impian ini adalah sesuatu yang impossible sehingga aku tak berani mengatakan bahwa ini adalah impianku.
Sekarang ini, aku baru menyadari betapa hebatnya menjadi seorang Guru. Materi keguruan menurutku cukup rumit, tapi menarik dengan segala “printilannya”. Seperti bagaimana cara membuat RPP dan silabus, membuat media pembelajaran, dsb. Semua itu terlihat sangat merepotkan, susah dan membingungkan, tapi entah mengapa itulah bagian yang paling aku suka. Belajar bagaimana menjadi seorang Guru yang profesional, berkarakter dan berdedikasi tinggi. Ya, disini kami dilatih untuk menjadi seperti itu. Menyenangkan sekali.
Menjadi seorang Guru yang profesional dan berkarakter adalah komitmen yang aku bangun mulai saat ini. Aku sudah tidak lagi merasa tersesat. Inilah cinta yang sekian lama aku cari. Cinta yang sekian lama aku aku rasakan namun tak pernah aku sadari, yaitu menjadi seorang Guru – digugu dan ditiru.
Komitmenku menjadi seorang Guru yang profesional adalah dengan terus belajar agar aku memiliki empat kompetensi yang memang wajib dimiliki seorang Guru yang profesional. Empat kompetensi tersebut yaitu: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik. Di sini, seorang aku dituntut harus memiliki pemahaman tentang landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik agar aku mampu mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, mengembangkan kurikulum atau silabus, dsb.
Kompetensi kepribadian seperti beriman dan bertaqwa, jujur, bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, berwibawa, mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, dsb. Kompetensi sosial adalah kemampuan Guru sebagai bagian dari Masyarakat. Dalam hal ini, aku yang nantinya berprofesi sebagai seorang Guru harus bisa bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat. Seorang Guru harus mampu bergaul secara santun dengan mengindahkan norma serta nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat. Seorang Guru pula harus mampu menerapkan tekologi komunikasi dan informasi secara fungsional.
Kompetensi profesional yaitu kemampuan Guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya. Jadi, wajib hukumnya buat aku untuk menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan aku ampu, dan menguasai  konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan aku ampu.
Bagi aku, begitu berat tugas dan tanggung jawab menjadi seorang Guru. Empat kompetensi yang harus dikuasai tersebut bukanlah kompetensi-kompetensi yang mudah. Karena, empat kompetensi dasar tersebut secara tersirat menuntut seorang Guru menjadi sosok yang sempurna, baik di depan anak didiknya maupun di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, Guru bukanlah sekedar profesi, melainkan profesi Guru adalah pengabdian. Ya, Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menurut aku  sangat sering selewengkan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari betapa banyak Guru yang sudah sekian lama mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa, hanya dianugerahi gaji sejumlah beberapa lembar rupiah saja. Bahkan nun jauh di luar keramaian kota, masih banyak Guru yang memiliki dedikasi tinggi bekerja tanpa gaji. Sungguh miris sekali.
Di Indonesia, kesejahteraan Guru masih sering diabaikan. Guru masih dianggap profesi seperti profesi-profesi yang lainnya. Padahal tidak, profesi Guru sangat jauh berbeda dengan profesi-profesi yang lainnya. Perbedaan itu dapat dicermati bahwa, profesi yang lainnya bekerja untuk sekedar mendapat gaji yang nantinya dinikmati untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sedangkan seorang Guru, ia tidak hanya bekerja semata-mata demi sejumlah rupiah, melainkan ia bekerja untuk membukakan jalan buat orang lain agar bisa melihat dunia. Kebahagian terbesarnya adalah ketika ia mampu menjadi tokoh yang selau di depan membela kepentingan umat yang masih dalam kegelapan dan butuh pencerahan.
Sang Guru, si Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, pada dasarnya tetaplah manusia biasa. Butuh makan dan kesejahteraan. Tapi hingga saat ini, sang Guru yang berdedikasi tinggi seolah masih hidup di dunianya sendiri. Dunia penuh kedamaian dan hidup seolah hanya didedikasikan untuk pendidikan. Ya, banyak Guru yang masih bekerja tanpa gaji. Tapi toh, banyak pula Guru yang meski bekerja tanpa upah sejumlah rupiah tetap saja segan berhenti memberikan cahayanya demi membantu mewujudkan cita-cita anak bangsa.
Sungguh sangat mulia. Para Guru-Guru yang berdedikasi tinggi tersebut tak ubahnya malaikat-malaikat tanpa sayap, yang diutus Tuhan menerangi dunia dengan nuur-nya (nuur baca: ilmu). Seorang Guru yang berdedikasi tinggi tak menganggap Guru adalah sebuah profesi, melainkan menjadi Guru adalah panggilan hati untuk sebuah pengabdian. Gaji bukan hanya sekedar rupiah. Bukan pula sekedar materi. Bagi seorang Guru yang memiliki dedikasi, ada hal-hal yang tidak bisa terbeli oleh materi dan gaji. Hal-hal tersebut diantaranya bisa membantu anak didik meraih cita-citanya dengan suka cita, mendampingi perjuangan mereka, memberi motivasi dikala segala usaha dan doa tak terijabah, memberi motivasi disaat jiwa dan raga telah letih mendaki meraih mimpi, dan terus memberikan dorongan dari belakang berupa doa untuk kesuksesan anak didik. Itulah sebagian dari hal-hal yang tidak bisa terbeli hanya dengan materi dan gaji.
Kebahagian sejati seorang Guru yang berdedikasi adalah bisa melihat, mendampingi, dan turut menghantarkan anak didiknya meraih cita-citanya, meraih masa depan yang cemerlang, menjadi orang yang mengagumkan dan menjadi orang yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi lingkungan. Ya, itulah kebahagian sejati seorang Guru yang berdedikasi. Berapa indahnya moment itu, ketika seorang Guru telah mampu menghantarkan anak didiknya menjadi orang yang sukses, dan ketika waktu harus memisahkan mereka, hingga pada akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Ketika anak didik tersebut telah meraih sukses dan bertemu kembali dengan sang Guru, anak didik itu tersenyum kepada sang Guru sambil berkata: “Guruku...”. Betapa bahagianya hati seorang Guru pada saat itu. Senyumnya lebih indah daripada bebunga di taman surga. Air mata harunya bagai butiran berlian yang luruh. Indah sekali. Semua itu adalah moment indah tak terbeli, moment yang lebih indah daripada hanya memikirkan sejumlah gaji.
Menjadi Guru yang profesional, berkarakter dan berdedikasi tinggi. Ya, itulah cita-cita terbesarku saat ini. Sudah bukan lagi gaji ataupun materi yang menjadi prioritas ketika kita telah memasuki dunia pendidikan, melainkan bagaimana cara kita agar mampu membukakan jalan untuk anak didik kita hingga mampu meraih cita-citanya. Mampu mencintai anak didik kita layaknya ia merupakan bagian dari diri kita, hingga senyum dan tawa mereka laksana obat mujarab ketika sakit dan lelah menerpa.
Sungguh, tak ada yang lebih mulia dari seorang Guru. Di depan, seorang guru/sang pendidik harus memberikan contoh atau teladan yang baik. Di tengah atau di antara murid, seorang guru harus mampu menciptakan prakarsa dan ide, serta memberikan semangat. Dan di belakang, seorang guru harus mampu memberikan dorongan dan daya kekuatan. Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Dan demikianlah kelak aku ingin menjadi. Menjadi Guru yang profesional, berkarakter dan berdedikasi tinggi serta mampu mengaplikasikan Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semoga Allah memberi ijabah atas segala doa dan cita-cita. Amiiiieenn......

0 komentar:

Posting Komentar