Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

7 Mar 2014

ARTIKEL PENDIDIKAN




PENDIDIKAN YANG “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA DAN MEMAJUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA”
H. Soedijarto

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti dapat dibaca dalam kutipan berikut ini:
“kemudian dari itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.........
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa ukuran utama bagi keberhasilan Pemerintah Negara Indonesia seperti yang digariskan oleh Para Pendiri Republik Indonesia seharusnya adalah: (1) terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dimana pun darah Indonesia tumpah termasuk darahnya para TKI, harus terlindungi; (2) majunya kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat; (3) cerdasnya kehidupan bangsa; dan (4) bermartabatnya kedudukan Indonesia dalam percaturan global baik politik, ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); dan bukan terlaksana tidaknya demokrasi sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan.
Dilihat dari kutipan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, tampaknya para pendiri Republik yang cendikiawan dan pelajar sejarah peradaban dunia sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dunia telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik ekonomi politik dan iptek.
Para pendiri sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan nusantara satu per satu dikuasai oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris dan Belanda). Akibatnya, selama 350 tahun penghuni nusantara secara kultural dalam status quo, sebagian besar rakyat belum tersentuh oleh peradaban modern. Oleh karena itu memasuki abad ke-20 tidak ada pilihan lain kecuali membangun Indonesia menjadi Negara modern yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan berorientasi iptek dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya.
Karena itu penulis menyimpulkan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” artinya  membangun Indonesia menjadi negara yang maju, modern, dan demokratis, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan cita-cita itu dari masyarakat yang berbudaya feodal tradisional, dan paternalistik diperlukan suatu proses transformasi budaya, yang dalam bahasa Bung Karno memerlukan sejumlah revolusi dalam satu generasi, yaitu revolusi dalam cara berfikir dan bersikap baik dalam bidang politik, ekonomi, industri, sosial-budaya, dan iptek.
Lantas, “bagaimana wujud sistem pendidikan (persekolahan) yang relevan dengan tuntutan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan budaya nasional ?” mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sama halnya dengan menjawab pertanyaan “pendidikan seperti apa yang dapat melahirkan manusia Indonesia yang mampu mendukung terwujudnya “kehidupan yang cerdas” yang maju kebudayaan nasionalnya ?”.
Sesungguhnya serangkaian Undang-Undang pendidikan nasional dari nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 telah menggambarkan wujud manusia yang berpendidikan. Sebagai ilustrasi adalah:
(1)  Undang-Undang nomor 2/1989 menggambarkannya dalam rumusan:
“manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yng Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”
(2)  Undang-Undang nomor 20/2003 menggambarkannya dalam rumusan berikut:
“manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tampak para pendiri Republik mengidealkan kondisi kehidupan bangsa yang demikian karena kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1945 tingkat perkembangan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan abad ke-20 baik ekonomi, politik dan iptek jauh tertinggal dari negara-negara di dunia.
Di bidang ekonomi kita adalah produsen bahan mentah dan pasar segala produk industri, di bidang iptek, kita adalah konsumen iptek produksi negara lain, di bidang politik kita belum berpengalaman menyelenggarakan pemerintahan modern yang demokratis, baru dalam bentuk cita-cita, di bidang kebudayaan kita lebih banyak ber-Bhinneka Tunggal Ika, kecuali bahasa Indonesia.
Hal ini terjadi karena pada saat dunia barat yang kemudian menjadi negara maju memasuki era industrialisasi, Indonesia tenggelam ke dalam cengkraman penjajah, elite Indonesia baru berkenalan dengan iptek pada permulaan abad ke-20, 400 tahun tertinggal dari dunia maju dalam iptek sebagai modal berpikir, bekerja, dan memecahkan masalah dan memajukan masyarakat. Kini hampir 60 tahun setelah Indonesia bertekat mencerdaskan kehidupan bangsa, belum juga terwujud. Fenomena berikut merupakan bukti belum cerdasnya kehidupan bangsa:
(1)  Ketidakmampuan kita untuk tidak kekurangan air bersih dan bahan makanan di musim kering;
(2)  Ketidakmampuan kita untuk mengatasi banjir dan tanah longsor di musim hujan;
(3)  Ketidakmampuan kita menemukan obat bagi penyakit yang berulang (secara periodik) mewabah di Indonesia seperti demam berdarah;
(4)  Ketergantungan kita terhadap teknologi negara lain;
(5)  Ketidakmampuan kita untuk menemukan, mengolah, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(6)  Ketergantungan kita kepada impor hasil bumi yang seharusnya menjadi negara pengekspor;
(7)  Ketidakmampuan kita menjaga keutuhan negara bangsa Indonesia seperti lepasnya Timor Timur, Pulau Sipadan dan Ligitan, dan berbagai masalah perbatasan yang kritis; dan
(8)  Ketidakmampuan kita mengembangkan strategi yang komprehensif dan terintegrasi dengan dukungan yang kuat dari seluruh rakyat untuk mengatasi krisis multidimensi merupakan indikator belum cerdasnya kehidupan bangsa.
Pertanyaannya adalah, mengapa setelah puluhan tahun Pemerintah Republik Indonesia dapat sepenuhnya menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk seluruh wilayah Indonesia kita belum mampu mewujudkan manusia Indonesia seperti yang diharapkan ? dalam pandangan penulis, hal ini terjadi karena penyelenggaraan pendidikan nasional baik dari segi manajemen, pembiayaan, proses pembelajaran, sistem evaluasi, sistem seleksi, sistem promosi, maupun dari materi pendidikan yang merupakan ciri esensial dari suatu sistem pendidikan yang relevan dengan amanat UUD 1945 belum terwujud.
Manusia yang bermoral, berdisiplin, beretos kerja tinggi, dan mampu menguasai dan menerapkan iptek serta demokratis dan bertanggung jawab tidak dapat dilahirkan dalam sistem pendidikan sekolah dengan peserta didik tanpa buku pelajaran, tanpa lapangan olaraga, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa guru yang tidak berkomitmen kepada pendidikan anak karena rendahnya insentif dan kesejahteraan yang diterima dan tanpa segala kemampuan, nilai dan sikap, sehingga sekolah hanya menjadi tempat peserta didik untuk mendengar, mencatat, menghafal, dan latihan menjawab soal-soal ujian. Dan, inilah kondisi lembaga pendidikan Indonesia pada umumnya dari SD bahkan sampai tingkat Universitas.
Dengan demikian agar dapat menghasilkan manusia yang berkarakteristik seperti seperti yang diharapkan maka perlu dirancang dan diselenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai dan sikap seorang Indonesia modern yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk itu, Komisi Internasional UNESCO untuk memasuki abad ke-21 merekomendasikan empat pilar belajar, yaitu:
  1. Learning to Know
Learning to Know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Sasaran terakhir dari penerapan pilar Learning to Know adalah lahirnya suatu generasi yang mampu mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK sebagai bagian dari kebudayaan.
  1. Learning to Do
Proses pembelajaran ini memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara teori telah dipelajari.
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan IPTEK. Hal ini selaras dengan pandangan Whitehead, 90 tahun yang lalu, yang memandang bahwa tujuan akhir dari upaya pendidikan adalah penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Ini sangat relevan dalam technology knowledge based economy, suatu masyarakat yang tenaga kerjanya tidak cukup hanya menguasai keterampilan motorik dan mekanistik, tetapi dituntut mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti controlling, monitoring, maintaining, disigning, dan organizing.
  1. Learning to Live Together
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi telah mengubah dunia menjadi desa global. Komisi Internasional mengakui sulitnya pendidikan abad ke-21 menciptakan kerukunan, toleransi dan saling pengertian dan bebas dari prasangka. Untuk itu, pendidikan dituntut tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian dan tanpa prasangka.
Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakikat manusia adalah beragam, tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Seperti kegiatan Camping.
  1. Learning to Be
Tiga pilar yaitu Learning to Know, Learning to Do dan Learning to Live Together ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah secara cerdas, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya.
Dalam bahasa UU No 2/1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemampuan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati, atau dalam kamus psikologi disebut memiliki Emotional Intellegence. Inilah kurang lebih makna Learning to Be, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar.
Adalah keyakinan profesional penulis bahwa hanya dengan menyelenggarakan sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana pembelajaran tersebut, yakni Learning to Know, Learning to Do dan Learning to Live Together, dan Learning to Be, fungsi konstitusional dari diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional bangsa Indonesia akan dapat terlaksana.*

0 komentar:

Posting Komentar