PENDIDIKAN YANG “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA DAN MEMAJUKAN
KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA”
H. Soedijarto
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti dapat dibaca dalam
kutipan berikut ini:
“kemudian dari itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.........
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa ukuran utama bagi
keberhasilan Pemerintah Negara Indonesia seperti yang digariskan oleh Para
Pendiri Republik Indonesia seharusnya adalah: (1) terlindunginya segenap bangsa
Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dimana pun darah Indonesia tumpah
termasuk darahnya para TKI, harus terlindungi; (2) majunya kesejahteraan umum dan
kemakmuran rakyat; (3) cerdasnya kehidupan bangsa; dan (4) bermartabatnya
kedudukan Indonesia dalam percaturan global baik politik, ekonomi, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek); dan bukan terlaksana tidaknya demokrasi
sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan.
Dilihat dari kutipan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
tersebut, tampaknya para pendiri Republik yang cendikiawan dan pelajar sejarah
peradaban dunia sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, dunia telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik
ekonomi politik dan iptek.
Para pendiri sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan nusantara
satu per satu dikuasai oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil
(Portugis, Inggris dan Belanda). Akibatnya, selama 350 tahun penghuni nusantara
secara kultural dalam status quo, sebagian
besar rakyat belum tersentuh oleh peradaban modern. Oleh karena itu memasuki
abad ke-20 tidak ada pilihan lain kecuali membangun Indonesia menjadi Negara
modern yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan
berorientasi iptek dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi dan
politiknya.
Karena itu penulis menyimpulkan bahwa “mencerdaskan kehidupan
bangsa” artinya membangun Indonesia
menjadi negara yang maju, modern, dan demokratis, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan cita-cita itu dari masyarakat yang
berbudaya feodal tradisional, dan paternalistik diperlukan suatu proses
transformasi budaya, yang dalam bahasa Bung Karno memerlukan sejumlah revolusi
dalam satu generasi, yaitu revolusi dalam cara berfikir dan bersikap baik dalam
bidang politik, ekonomi, industri, sosial-budaya, dan iptek.
Lantas, “bagaimana wujud sistem pendidikan (persekolahan) yang
relevan dengan tuntutan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan budaya
nasional ?” mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sama halnya dengan
menjawab pertanyaan “pendidikan seperti apa yang dapat melahirkan manusia
Indonesia yang mampu mendukung terwujudnya “kehidupan yang cerdas” yang maju
kebudayaan nasionalnya ?”.
Sesungguhnya serangkaian Undang-Undang pendidikan nasional dari
nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, Undang-Undang nomor 2
tahun 1989 dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 telah menggambarkan wujud
manusia yang berpendidikan. Sebagai ilustrasi adalah:
(1) Undang-Undang nomor 2/1989 menggambarkannya dalam rumusan:
“manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yng Maha Esa,
berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”
(2) Undang-Undang nomor 20/2003 menggambarkannya dalam rumusan
berikut:
“manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tampak para pendiri Republik mengidealkan kondisi kehidupan
bangsa yang demikian karena kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1945
tingkat perkembangan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan abad
ke-20 baik ekonomi, politik dan iptek jauh tertinggal dari negara-negara di
dunia.
Di bidang
ekonomi kita adalah produsen bahan mentah
dan pasar segala produk industri, di bidang iptek, kita adalah
konsumen iptek produksi negara lain, di bidang politik kita
belum berpengalaman menyelenggarakan pemerintahan modern yang demokratis, baru
dalam bentuk cita-cita, di bidang kebudayaan kita
lebih banyak ber-Bhinneka Tunggal Ika, kecuali bahasa Indonesia.
Hal ini terjadi karena pada saat dunia barat yang kemudian
menjadi negara maju memasuki era industrialisasi, Indonesia tenggelam ke dalam
cengkraman penjajah, elite Indonesia baru berkenalan dengan iptek pada
permulaan abad ke-20, 400 tahun tertinggal dari dunia maju dalam iptek sebagai
modal berpikir, bekerja, dan memecahkan masalah dan memajukan masyarakat. Kini
hampir 60 tahun setelah Indonesia bertekat mencerdaskan kehidupan bangsa, belum
juga terwujud. Fenomena berikut merupakan bukti belum cerdasnya kehidupan
bangsa:
(1) Ketidakmampuan kita untuk tidak kekurangan air bersih dan bahan
makanan di musim kering;
(2) Ketidakmampuan kita untuk mengatasi banjir dan tanah longsor di
musim hujan;
(3) Ketidakmampuan kita menemukan obat bagi penyakit yang berulang
(secara periodik) mewabah di Indonesia seperti demam berdarah;
(4) Ketergantungan kita terhadap teknologi negara lain;
(5) Ketidakmampuan kita untuk menemukan, mengolah, mengelola, dan
memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(6) Ketergantungan kita kepada impor hasil bumi yang seharusnya
menjadi negara pengekspor;
(7) Ketidakmampuan kita menjaga keutuhan negara bangsa Indonesia
seperti lepasnya Timor Timur, Pulau Sipadan dan Ligitan, dan berbagai masalah
perbatasan yang kritis; dan
(8) Ketidakmampuan kita mengembangkan strategi yang komprehensif dan
terintegrasi dengan dukungan yang kuat dari seluruh rakyat untuk mengatasi
krisis multidimensi merupakan indikator belum cerdasnya kehidupan bangsa.
Pertanyaannya adalah,
mengapa setelah puluhan tahun Pemerintah Republik Indonesia dapat sepenuhnya
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk seluruh wilayah
Indonesia kita belum mampu mewujudkan manusia Indonesia seperti yang diharapkan
? dalam pandangan penulis, hal ini terjadi karena penyelenggaraan pendidikan
nasional baik dari segi manajemen, pembiayaan, proses pembelajaran, sistem
evaluasi, sistem seleksi, sistem promosi, maupun dari materi pendidikan yang
merupakan ciri esensial dari suatu sistem pendidikan yang relevan dengan amanat
UUD 1945 belum terwujud.
Manusia yang bermoral,
berdisiplin, beretos kerja tinggi, dan mampu menguasai dan menerapkan iptek
serta demokratis dan bertanggung jawab tidak dapat dilahirkan dalam
sistem pendidikan sekolah dengan peserta didik tanpa buku pelajaran, tanpa
lapangan olaraga, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa guru yang tidak
berkomitmen kepada pendidikan anak karena rendahnya insentif dan kesejahteraan
yang diterima dan tanpa segala kemampuan, nilai dan sikap, sehingga sekolah
hanya menjadi tempat peserta didik untuk mendengar, mencatat, menghafal, dan
latihan menjawab soal-soal ujian. Dan, inilah kondisi lembaga pendidikan
Indonesia pada umumnya dari SD bahkan sampai tingkat Universitas.
Dengan demikian agar
dapat menghasilkan manusia yang berkarakteristik seperti seperti yang
diharapkan maka perlu dirancang dan diselenggarakan suatu sistem pendidikan
nasional yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang bermakna proses
pembudayaan berbagai kemampuan, nilai dan sikap seorang Indonesia modern yang
demokratis dan bertanggung jawab. Untuk itu, Komisi Internasional UNESCO untuk
memasuki abad ke-21 merekomendasikan empat pilar belajar,
yaitu:
- Learning to Know
Learning to Know adalah
suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan
akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan,
suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya
menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara
ilmiah.
Sasaran terakhir dari penerapan pilar Learning to Know adalah lahirnya suatu
generasi yang mampu mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK sebagai
bagian dari kebudayaan.
- Learning to Do
Proses pembelajaran ini
memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
menghadapi masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara teori
telah dipelajari.
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang dapat bekerja secara cerdas
dengan memanfaatkan IPTEK. Hal ini selaras dengan pandangan Whitehead, 90 tahun
yang lalu, yang memandang bahwa tujuan akhir dari upaya pendidikan adalah
penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Ini sangat relevan dalam technology knowledge based economy, suatu
masyarakat yang tenaga kerjanya tidak cukup hanya menguasai keterampilan
motorik dan mekanistik, tetapi dituntut
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti controlling, monitoring, maintaining,
disigning, dan organizing.
- Learning to Live Together
Kemajuan dunia dalam
bidang IPTEK dan ekonomi telah mengubah dunia menjadi desa global. Komisi
Internasional mengakui sulitnya pendidikan abad ke-21 menciptakan kerukunan,
toleransi dan saling pengertian dan bebas dari prasangka. Untuk itu, pendidikan
dituntut tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan
kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan
penuh toleransi, pengertian dan tanpa prasangka.
Dalam kaitan ini adalah
tugas pendidikan pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh
pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakikat manusia adalah beragam, tetapi
dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Ini diperlukan proses pembelajaran
yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Seperti kegiatan Camping.
- Learning to Be
Tiga pilar yaitu Learning to Know, Learning to Do dan Learning to Live Together ditujukan bagi
lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu
pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah secara
cerdas, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap
perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya
rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil akhirnya adalah
manusia yang mampu mengenal dirinya.
Dalam bahasa UU No
2/1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Manusia yang utuh
yang memiliki kemampuan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang
konsisten dan yang memiliki rasa empati,
atau dalam kamus psikologi disebut memiliki Emotional
Intellegence. Inilah kurang lebih makna Learning
to Be, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar.
Adalah keyakinan
profesional penulis bahwa hanya dengan menyelenggarakan sistem pendidikan yang
mampu menciptakan suasana pembelajaran tersebut, yakni Learning to Know, Learning to Do dan Learning to Live Together, dan Learning
to Be, fungsi konstitusional dari diselenggarakannya satu sistem pendidikan
nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional
bangsa Indonesia akan dapat terlaksana.*
0 komentar:
Posting Komentar