“KOMITMEN DIRI SAYA MENJADI GURU
YANG PROFESIONAL”
Menjadi
seorang Guru. Entah sejak kapan aku mulai berani bermimpi menjadi seorang Guru.
Bagiku, Guru bukan sekedar profesi, melainkan panggilan hati dimana tidak semua
orang bisa ataupun beroleh kesempatan itu. Guru adalah profesi untuk
orang-orang yang terpilih karena Guru adalah tangan kanan Tuhan.
Dahulu,
aku tidak pernah membayangkan dan bahkan tidak pernah bercita-cita menjadi
seorang Guru. Tak ada rencana, bahkan sampai aku masuk ke Universitas Negeri
Surabaya (UNESA). Tidak pernah terbersit dalam fikiranku bahwa kelak
Universitas inilah yang akan mengantarkanku menjadi seorang Guru, Guru yang
profesional.
Sejak
kecil, aku memang tak pernah memiliki cita-cita menjadi seorang Guru. Tapi
entah mengapa, sejak kecil pula aku mulai suka mengajar. Tepatnya ketika aku
duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sejak SD, aku mulai suka belajar bersama
dengan saudara-saudara sepupuku dan tetangg aku, dan dalam proses belajar
bersama itu aku yang selalu menjadi pengajar (Guru) bagi mereka. Maklum saja,
di antara aku dan saudara-saudara sepupuku, aku adalah saudara tertua mereka.
Rata-rata mereka adik kelasku, jadi dalam proses belajar akulah yang lebih
sering mengajari mereka. Entah siapa yang menginspirasiku pada saat itu hingga aku
sangat suka mengajar.
Mulai
dari tingkat Sekolah Dasar, prestasiku boleh dibilang cukup membanggakan. Sejak
SD aku mulai aktif dan aku tumbuh menjadi anak yang berani dan percaya diri. Oleh
karena itu, tidak hanya prestasi akademik yang mampu aku raih, melainkan pula
prestasi non-akademik.
Di
bidang akademik, kelas 1 aku mendapat rangking 7. Itulah merupakan rangking
terburukku selama SD sampai SMA. Setelah hanya mampu finish di urutan ke 7,
kelas 2 aku mulai menunjukkan prestasi yang lebih gemilang. Ya, kelas 2 SD aku
berhasil mendapatkan juara 2 di kelas. Di bidang non-akademik, aku sering
didaulat untuk mewakili sekolahku dalam beberapa perlombaan tingkat kecamatan.
Seperti lomba paduan suara, mengarang, kemah pramuka tingkat siaga
se-kecamatan, paskibraka, dll. Semua itulah yang menjadi modal buat aku berani
mengajar pada saat itu.
Prestasi
yang gemilang juga aku lanjutkan hingga tingkat SMA. Ketika SMA aku sekolah di
Madrasah Aliyah Matholi’ul Anwar Simo, salah satu madrasah aliyah terbaik di
Kabupaten Lamongan. Ketika di aliyah, aku mulai merajut asa untuk bisa kuliah
di Universitas Negeri Surabaya. Entah mengapa UNESA yang aku pilih, bukan
universitas lain.
Ketika
di aliyah, aku juga sering mengisi kelas dengan mengajar teman-temanku sendiri
ketika jam mata pelajaran kosong. Hampir semua mata pelajaran IPS aku kuasai
pada waktu itu, sehingga tidak sulit bagiku mengajar teman-temanku. Ketika di
aliyah, mata pelajaran yang paling aku sukai adalah matematika, bahasa inggris
dan ekonomi. Sehingga akupun sering mengajar teman-temanku mata pelajaran
tersebut ketika jam pelajaran kosong. Walaupun pada dasarnya kesemua mata
pelajaran yang aku sukai tersebut tidak disukai mayoritas temen-temen di
kelasku. Tapi aku tidak pernah menyerah mengajari mereka. Sebab, aku
berpandangan bahwa ketiga mata pelajaran tersebut adalah mata pelajaran yang
mau tidak mau harus mereka pelajari dan kuasai sebagai bekal menyongsong Ujian
Akhir Nasional, sehingga kalaupun hari ini mereka tidak mau mendengarkan aku
berbicara di depan, kelak justru merekalah akan meminta aku untuk belajar
bersama. Dan pada akhirnya ketika kelas tiga, mereka justru yang meminta aku
mengajari mereka ketiga mata pelajaran tersebut. Luar biasa.
Sejak
saat itu, aku semakin intens mengajar teman-temanku. Terlebih sejak kelas 2
sampai kelas 3 aku mendapatkan juara pertama di kelas, sehingga mereka tak
segan mengajak aku belajar bersama bahkan mereka meminta aku mengajari mereka
tiga mata pelajaran UN yang mereka rasa cukup sulit, yaitu matematika, bahasa
inggris dan ekonomi. Alhamdulillah.....sejak saat itu, aku jatuh cinta lagi
dengan dunia mengajar, meskipun sampai saat itu pula belum terbersit dalam
pikiranku bahwa aku ingin menjadi seorang pendidik atau Guru.
Pada
saat itu, cita-citaku adalah menjadi seorang pengusaha ataupun penulis novel.
Tapi toh Tuhan berkendak lain, Tuhan telah membukakan jalanku untuk bisa masuk
dalam persaingan ketat SNMPTN, dan akupun lolos di Universitas Negeri Surabaya,
universitas impianku pada saat itu. Entah, mengapa UNESA yang aku pilih dan
Jurusan Pendidikan Ekonomi yang aku minati ??? sampai sekarang aku tak tahu
jawabannya. Ketika kelas 2 aliyah aku sangat teropsesi bisa mendapatkan
beasiswa kuliah di UNESA, dan impian polos itulah yang pada akhirnya
menghantarkanku ke altar suci Universitas impianku, Universitas Negeri
Surabaya. Indah sekali.
Di
dalam doaku, aku selalu meminta kepada Allah SWT; “jika ini adalah jalan takdir
hamba, maka lapangkanlah Ya Allah...namun jika tidak, maka bimbinglah hamba dan
tunjukkan jalan yang terbaik. Sesungguhnya hamba hanya bisa berusaha, sedang
Engkaulah yang menentukan segalanya”. Itulah untaian doa yang tak pernah lupa aku
panjatkan kepada Allah SWT dalam setiap sujudku.
Dan
kini, setelah empat semester aku kuliah di jurusan pendidikan ekonomi
Universitas Negeri Surabaya, aku baru mengenali dan memahami diriku sendiri.
Ternyata inilah aku. Menjadi seorang pendidik adalah cinta yang tak terlihat.
Cinta yang sekian lama aku rasakan tapi baru kini ku sadari. Menjadi seorang Guru
adalah impianku sejak kecil, hanya saja pada waktu itu aku masih terlau naif
dan masih menganggap impian ini adalah sesuatu yang impossible sehingga aku tak berani mengatakan bahwa ini adalah impianku.
Sekarang
ini, aku baru menyadari betapa hebatnya menjadi seorang Guru. Materi keguruan
menurutku cukup rumit, tapi menarik dengan segala “printilannya”. Seperti
bagaimana cara membuat RPP dan silabus, membuat media pembelajaran, dsb. Semua
itu terlihat sangat merepotkan, susah dan membingungkan, tapi entah mengapa
itulah bagian yang paling aku suka. Belajar bagaimana menjadi seorang Guru yang
profesional, berkarakter dan berdedikasi tinggi. Ya, disini kami dilatih untuk
menjadi seperti itu. Menyenangkan sekali.
Menjadi
seorang Guru yang profesional dan berkarakter adalah komitmen yang aku bangun mulai
saat ini. Aku sudah tidak lagi merasa tersesat. Inilah cinta yang sekian lama aku
cari. Cinta yang sekian lama aku aku rasakan namun tak pernah aku sadari, yaitu
menjadi seorang Guru – digugu dan ditiru.
Komitmenku
menjadi seorang Guru yang profesional adalah dengan terus belajar agar aku
memiliki empat kompetensi yang memang wajib dimiliki seorang Guru yang
profesional. Empat kompetensi tersebut yaitu: kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial dan profesional.
Kompetensi
pedagogik adalah kemampuan Guru
dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik. Di sini, seorang aku
dituntut harus memiliki pemahaman tentang landasan kependidikan, pemahaman
terhadap peserta didik agar aku mampu mengembangkan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, mengembangkan kurikulum atau silabus, dsb.
Kompetensi
kepribadian seperti beriman dan bertaqwa, jujur, bijaksana, berwibawa,
berakhlak mulia, berwibawa, mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, dsb. Kompetensi sosial adalah kemampuan Guru sebagai bagian dari Masyarakat.
Dalam hal ini, aku yang nantinya berprofesi sebagai seorang Guru harus bisa bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali
peserta didik, dan masyarakat. Seorang Guru harus mampu bergaul
secara santun dengan mengindahkan norma serta nilai yang berlaku di lingkungan
masyarakat. Seorang Guru pula harus mampu menerapkan tekologi komunikasi dan
informasi secara fungsional.
Kompetensi
profesional yaitu kemampuan Guru
dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni
dan budaya yang diampunya. Jadi, wajib hukumnya buat aku untuk menguasai
materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan aku ampu, dan
menguasai konsep dan metode disiplin
keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi
atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau
kelompok mata pelajaran yang akan aku ampu.
Bagi
aku, begitu berat tugas dan tanggung jawab menjadi seorang Guru. Empat
kompetensi yang harus dikuasai tersebut bukanlah kompetensi-kompetensi yang
mudah. Karena, empat kompetensi dasar tersebut secara tersirat menuntut seorang
Guru menjadi sosok yang sempurna, baik di depan anak didiknya maupun di
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, Guru bukanlah sekedar profesi,
melainkan profesi Guru adalah pengabdian. Ya, Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda
Jasa.
Gelar
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menurut aku
sangat sering selewengkan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari betapa
banyak Guru yang sudah sekian lama mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa,
hanya dianugerahi gaji sejumlah beberapa lembar rupiah saja. Bahkan nun jauh di
luar keramaian kota, masih banyak Guru yang memiliki dedikasi tinggi bekerja tanpa
gaji. Sungguh miris sekali.
Di
Indonesia, kesejahteraan Guru masih sering diabaikan. Guru masih dianggap
profesi seperti profesi-profesi yang lainnya. Padahal tidak, profesi Guru
sangat jauh berbeda dengan profesi-profesi yang lainnya. Perbedaan itu dapat
dicermati bahwa, profesi yang lainnya bekerja untuk sekedar mendapat gaji yang
nantinya dinikmati untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sedangkan seorang Guru,
ia tidak hanya bekerja semata-mata demi sejumlah rupiah, melainkan ia bekerja
untuk membukakan jalan buat orang lain agar bisa melihat dunia. Kebahagian
terbesarnya adalah ketika ia mampu menjadi tokoh yang selau di depan membela
kepentingan umat yang masih dalam kegelapan dan butuh pencerahan.
Sang
Guru, si Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, pada dasarnya tetaplah manusia biasa. Butuh
makan dan kesejahteraan. Tapi hingga saat ini, sang Guru yang berdedikasi
tinggi seolah masih hidup di dunianya sendiri. Dunia penuh kedamaian dan hidup seolah
hanya didedikasikan untuk pendidikan. Ya, banyak Guru yang masih bekerja tanpa
gaji. Tapi toh, banyak pula Guru yang meski bekerja tanpa upah sejumlah rupiah
tetap saja segan berhenti memberikan cahayanya demi membantu mewujudkan
cita-cita anak bangsa.
Sungguh
sangat mulia. Para Guru-Guru yang berdedikasi tinggi tersebut tak ubahnya
malaikat-malaikat tanpa sayap, yang diutus Tuhan menerangi dunia dengan nuur-nya (nuur baca: ilmu). Seorang Guru yang berdedikasi tinggi tak
menganggap Guru adalah sebuah profesi, melainkan menjadi Guru adalah panggilan
hati untuk sebuah pengabdian. Gaji bukan hanya sekedar rupiah. Bukan pula
sekedar materi. Bagi seorang Guru yang memiliki dedikasi, ada hal-hal yang
tidak bisa terbeli oleh materi dan gaji. Hal-hal tersebut diantaranya bisa
membantu anak didik meraih cita-citanya dengan suka cita, mendampingi
perjuangan mereka, memberi motivasi dikala segala usaha dan doa tak terijabah,
memberi motivasi disaat jiwa dan raga telah letih mendaki meraih mimpi, dan
terus memberikan dorongan dari belakang berupa doa untuk kesuksesan anak didik.
Itulah sebagian dari hal-hal yang tidak bisa terbeli hanya dengan materi dan
gaji.
Kebahagian
sejati seorang Guru yang berdedikasi adalah bisa melihat, mendampingi, dan
turut menghantarkan anak didiknya meraih cita-citanya, meraih masa depan yang
cemerlang, menjadi orang yang mengagumkan dan menjadi orang yang dibutuhkan dan
bermanfaat bagi lingkungan. Ya, itulah kebahagian sejati seorang Guru yang
berdedikasi. Berapa indahnya moment itu, ketika seorang Guru telah mampu
menghantarkan anak didiknya menjadi orang yang sukses, dan ketika waktu harus
memisahkan mereka, hingga pada akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali.
Ketika anak didik tersebut telah meraih sukses dan bertemu kembali dengan sang Guru,
anak didik itu tersenyum kepada sang Guru sambil berkata: “Guruku...”. Betapa
bahagianya hati seorang Guru pada saat itu. Senyumnya lebih indah daripada
bebunga di taman surga. Air mata harunya bagai butiran berlian yang luruh. Indah
sekali. Semua itu adalah moment indah tak terbeli, moment yang lebih indah
daripada hanya memikirkan sejumlah gaji.
Menjadi
Guru yang profesional, berkarakter dan berdedikasi tinggi. Ya, itulah cita-cita
terbesarku saat ini. Sudah bukan lagi gaji ataupun materi yang menjadi
prioritas ketika kita telah memasuki dunia pendidikan, melainkan bagaimana cara
kita agar mampu membukakan jalan untuk anak didik kita hingga mampu meraih
cita-citanya. Mampu mencintai anak didik kita layaknya ia merupakan bagian dari
diri kita, hingga senyum dan tawa mereka laksana obat mujarab ketika sakit dan
lelah menerpa.
Sungguh,
tak ada yang lebih mulia dari seorang Guru. Di depan, seorang guru/sang
pendidik harus memberikan contoh atau teladan yang baik. Di tengah atau di
antara murid, seorang guru harus mampu menciptakan prakarsa dan ide, serta
memberikan semangat. Dan di belakang, seorang guru harus mampu memberikan
dorongan dan daya kekuatan. Ing Ngarsa
Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Dan demikianlah
kelak aku ingin menjadi. Menjadi Guru yang profesional, berkarakter dan
berdedikasi tinggi serta mampu mengaplikasikan Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semoga
Allah memberi ijabah atas segala doa dan cita-cita. Amiiiieenn......