Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

7 Mar 2014

SEJARAH LAHIRNYA ILMU EKONOMI



A.    Ilmu Ekonomi Masa Silam
Ilmu ekonomi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang sudah cukup lama berkembang. Perkembangannya bermula sejak tahun 1776, yaitu setelah Adam Smith (seorang pemikir dan ahli ekonomi Inggris) menerbitkan bukunya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of Nations”. Beberapa pemikiran hingga kini masih mendapat perhatian dalam pemikiran ahli-ahli ekonomi. Sehingga Adam Smith dianggap sebagai “Bapak Ilmu Ekonomi.”
Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang besar dan luas, ilmu ekonomi diberi gelar sebagai the oldest art, and the newses science, yang jika diterjemahkan, ekonomi merupakan seni yang tertua dan ilmu pengetahuan yang termuda. Masalah-masalah ekonomi lahir serentak dengan terbitnya matahari kemanusian puluhan ribu tahun silam. Tidak ada satu cabang ilmu pun yang lebih tua atau lebih dahulu daripadanya. Mungkin saja ada orang yang beranggapan bahwa ilmu kedokteran yang lebih tua, itu kurang benar sebab ilmu (atau lebih baik disebut dengan “seni” saja dan bukan ilmu, sebab di zaman yang paling awal dari sejarah kemanusiaan itu belum ada ilmu yang memiliki sistematika, disiplin, serta keharusan-keharusan ilmiah yang lain) kedokteran timbul sesudah orang merasa sakit dan ingin sembuh dari sakitnya itu. Lain halnya dengan ekonomi, yang dirasakan perlunya sejak Nabi Adam AS diturunkan ke bumi bersama Hawa. Kebutuhan mereka akan makanan, pakaian dan tempat tinggal, telah memaksa mereka untuk bergumul dan bergaul dengan masalah-masalah ekonomi.
Hal ini akan tampak kian jelas jika kita ikuti pendapat Georg Friedrich List (1789-1846), seorang ahli ekonomi bangsa Jerman, yang membagi tahap-tahap kehidupan ekonomi manusia diantaranya:
1.      Perburuan dan perikanan
2.      Peternakan
3.      Pertanian
4.      Pertanian dan kerajinan setempat
5.      Pertanian, industri, perniagaan internasional.
Pembagian List ini memberikan kesan kepada kita bahwa masalah-masalah ekonomi telah dilakukan oleh orang-orang penghuni pertama di bumi, dalam bentuk perburuan dan perikanan.
Pada saat awal-awal kehidupan manusia, istilah ekonomi tentu saja belum ada. Akan tetapi masalah-masalah yang dihadapi manusia-manusia penghuni bumi yang pertama adalah masalah-masalah yang di zaman modern disebut sebagai masalah ekonomi.
Ekonomi sebagaimana kedokteran dan lain-lain, saat itu belum berfungsi sebagai ilmu. Yang ada barulah “seni” ekonomi, yaitu seni mencukupi kebutuhan, seni melengkapi alat-alat berburu dan menangkap ikan (yang saat ini dikenal sebagai melengkapi alat-alat modal), seni penyisihan sebagian makanan untuk dimakan di lain saat nanti (yang saat ini disebut sebagai kegiatan menabung atau saving) dan lain-lain.
Peristiwa pertama yang menandai akan lahirnya ilmu baru yang bernama ilmu ekonomi adalah munculnya istilah ekonomi itu sendiri. Itu terjadi ribuan tahun yang lalu, beratus-ratus tahun sebelum kelahiran Nabi Isa AS. Entah pada zaman apa, masa pemerintahan raja siapa serta oleh siapakah istilah ekonomi itu untuk pertama kalinya dilontarkan, tidak ada orang yang mengetahuinya secara pasti. Yang jelas, istilah ekonomi itu lahir di Yunani, dan dengan sendirinya istilah ekonomi itupun berasal dari kata-kata Yunani pula. Asal katanya adalah Oikos Nomos. Betapa sulitnya mencari terjemahan yang tepat untuk kata-kata itu, tetapi orang-orang barat menerjemahkannya dengan management of household or estate (tata laksana rumah tangga atau pemilikan).
Pada saat itu, Yunani adalah negara yang besar dan memiliki kebudayaan yang tinggi. Hampir setiap generasi Yunani kuno berhasil mencetak dan memiliki berpuluh-puluh filosof besar, yang semuanya menjadi penyumbang bagi terbentuknya bangunan Ilmu Pengetahuan kita saat ini.
Diantara nama filosof besar tersebut terdapatlah nama Aristoteles (384-322 SM), yang merupakan murid dari Plato dan cucu murid Socrates. Aristoteles adalah ahli matematika, ilmu pasti dan alam, sekaligus seorang sosiolog dan psikolog, bahkan lebih dari semua itu, ia adalah seorang ulama yang paham benar akan agama, moral dan etika. Ia adalah guru bagi Iskandar Zulkarnain yang agung dan Macedonia.
Selama hidupnya, Aristoteles telah menulis banyak sekali buku tentang segala yang dirasa, dilihat dan dipikirkannya. Berkat ia juga, Oikos Nomos tidak berhenti berkembang. Diantara buku-bukunya yang paling banyak memuat uraian tentang ekonomi adalah buku yang berjudul Politika dan Etika Nicomachea. Diantara topik-topik yang diuraikannya di dalam kedua buku itu, terdapatlah dasar-dasar teori nilai dan pertukaran, pembagian kerja, serta teori tentang uang, suku bunga dan riba. Namun, karena ia hanyalah hasil didikan sebuah desa kecil serta berhubungan hanya dengan masalah-masalah ekonomi yang dilihat di sekitarnya saja, maka sering kali ia membuat penyerdanaan yang berlebih-lebihan dan generalisasi. Walaupun demikian, ia memahami benar akan lika-liku serta pentingya arti perdagangan, perniagaan, serta diperlukannya uang sebagai salah satu jenis perantara atau alat tukar-menukar, dan suatu standar (untuk ukuran dan nilai) yang disepakati dunia.
Satu di antara sumbangan terbesar Aristoteles adalah uraiannya tentang teori nilai. “Pada setiap barang yang kita miliki”, tulisnya, “terdapat dua manfaat atau dua penggunaan, yang keduanya dimiliki oleh barang itu sekalipun tidak dalam bentuk yang sama, yang satu adalah penggunaan yang sesuai (proper) sedang yang lainnya adalah penggunaan yang kurang sesuai (improper) atau penggunaan kedua (secondary) bagi barang itu. Misalnya Sepatu, dapat dipergunakan untuk dipakai maupun dipertukarkan dengan barang lain. Keduany merupakan penggunaan sepatu itu”. Berdasarkan tulisan itu, Aristoteles menyatakan bahwa setiap barang tertentu mempunyai nilai pakai dan nilai tukar, atau nilai subyektif dan nilai obyektif seperti yang kita sebut sekarang. “Adapun nilai pakai (ulility value) biasa disebut dengan sebutan guna (utility) saja, sedangkan nilai tukar (exchange value) itu disebut dengan sebutan nilai (value) saja. Para ahli ekonomi zaman sekarang memberi gelar Aristoteles sebagai The “First” Economist, Ahli Ekonomi “Pertama”.
Sejak zaman Aristoteles itu, ekonomi masih harus melewati masa yang amat panjamg untuk sampai kepada bebtuknya sekarang. Pada zaman di sekitar abad pertengahan, sebelum zaman Renaissance (kebangkitan), kaum pedagang pernah dianggap pedagang dan pencuri, hanya karena mereka mengambil laba dari usahanya. Di saat itu, tidak sedikit peraturan dibuat orang untuk mengecam pembungahan uang. Alasan pokok untuk keperluan itu adalah ayat-ayat Bibel keluaran 22:25, Imanat Orang Lewi 25:36, Ulangan 23: 19-20, Mazmur 15:5, Yehezkiel sebagai tokoh ekonomi, St. Thomas Aquinas (1225-1274), pernah menyatakan bahwa waktu adalah milik Tuhan sehingga tidak boleh atau jangan dijual dengan uang.
Larangan pembungaan uang dan sistem bunga menjadi salah satu pilar ekonomi dalam pandangan agama. Beberapa ayat bibel yang menyatakan haramnya bunga seperti tersebut dapat dibaca oleh siapapun juga hingga hari ini. Selanjutnta nabi yang menjadi penerus Nabi Isa AS, yakni Nabi Muhammad SAW., memperbaharui semangat anti riba itu dengan larangan dan ancaman yang tegas. Al-Quran menyatakan haramnya riba itu secara tegas antara lain di Surah Al-Baqarah ayat 275. Bagian akhir dari ayat itu menyatakan: Barangsiapa yang kembali mengambil riba sesudah ini, maka mereka itu adalah penghuni neraka; mreka kekal di dalamnya. Nabi Muhammad SAW. menyatakan bahwa ada empat orang yang mendapat dosa karena riba, yakni pemakannya, pemberinya, penulis (kontrak)-nya, dan saksinya. Di lain kesempatan, beliau bersabda bahwa riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa); yang paling ringan diantaranya adalah sama dengan (dosa) seorang lelaki menyetubuhi ibu kandungnya sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) ternyata sepakat mengharamkan bunga dan memandang pembungaaan uang sebagai perbuatan haram yang dikutuk sekeras-kerasnya.
Sesudah itu, ekonomi masih terus menghadapi badai dan gelombang yang timbul sebagai akibat pertentangan pendapat diantara para pemikir ekonomi. Hal ini diterangkan secara gamblang di dalam mata pelajaran sejarah perekonomian.
Lalu sampailah ekonomi pada bentuknya yang sekarang ini. Sekalipun masih terdapat perselisihan pendapat serta perselisihan faham. Dalam pandangan diantara para ahli maupun diantara bangsa-bangsa. Namun terdapat perbedaan, dahulu semua perselisihan itu bersifat “mencari bentuk” ekonomi yang sesungguhnya. Sedangkan sekarang perbedaan pendapat lebih berbentuk “bagaimana melayarkan bahtera perekonomian menuju tujuan, baik tujuan perorangan maupun bangsa”. Dahulu, benturan-benturan yang terjadi di antara para ahli ekonomi adalah benturan-benturan paham, sedangkan sekarang benturan-benturan itu justru lebih merupakan benturan-benturan kepentingan.

B.     Aliran Pemikir Ekonomi
1.      Aliran Merkantilis/Madzab Merkantilis.
Merkantilisme berasal dari bahasa latin mercece yang berarti jual beli, atau bahasa Inggris merchant yang artinya adalah saudagar. Paham ini tumbuh subur di zaman kekuasaan raja-raja abad pertengahan. Tokoh utama madzab ini adalah Jean Baptiste Colbert, yang juga merupakan menteri keuangan raja Lodewijk XIV.
Pemikiran kaum merkantilis adalah: untuk meningkatkan kekayaan negara, maka negara harus menjual (mengekspor) lebih banyak daripada membeli (mengimpor), serta banyak mendatangkan logam mulia seperti emas dan perak ke dalam negeri. Seorang merkantilis adalah seorang penganut paham bahwa suatu sistem perekonomian yang terbaik adalah suatu sistem dimana negara harus melakukan campur tangan seluas-luasnya terhadap dunia usaha dan perdagangan luar negeri. Terhadap pertanyaan, “apakah sumber kekayaan negara itu ?” kaum merkantilis menjawab: commerce (perdagangan).
2.      Aliran Fisiokrat.
Fisiokrat berakar dari kata-kata Yunani fisos yang berarti alam, dan kratos yang memiliki arti kekuasaan. Sehingga fisiokratisme berpendirian bahwa alamlah penguasa kekayaan atau dari alam bersumber kekayaan. Pemuka aliran ini adalah Francois Quesnay, dokter pribadi Lodewijk XIV. Ia menolak anggapan kaum merkantilis bahwa kekayaan negara berpusat pada industri dan perdagangan.
Quesnay sendiri meletakkan dasar ajarannya pada dua hal pokok. Pertama, kontrol atau pengendalian atas perdagangan luar negeri dan industri (seperti pada zaman merkantilisme) justru akan menghambat perkembangan ekonomi. Kedua, semua pajak harus ditanggung oleh pemilik tanah (Quesnay membedakan antara pemilik tanah dengan petani), sebab kehidupan mereka yang mewah telah menjadi salah satu sebab terhambatnya arus pendapatan di kalangan rakyat. Pendapat Quesnay secara keseluruhan berpangkal atas dua anggapan pokok. Pertama, ia percaya semua kekayaan datangnya dari proses yang memberikan kehidupan yang telah diciptakan oleh Tuhan. Kedua, kebebasan ekonomi akan menciptakan masyarakat yang makmur dan teratur. Kaum fisiokrat sepakat pada suatu ide dasar, bahwa kekayaan datang dari tanah. Hanya tanahlah yang mempunyai kekuatan pemberi kehidupan yang berasal dari Tuhan.
3.      Aliran Klasik.
Tokoh dari aliran ini adalah Adam Smith. Menurut Adam Smith, kekayaan datang bukan dari perdagangan dan tanah seperti kata orang-orang merkantilis dan fisiokrat, tetapi dari kerja manusia, dan karena kerja manusialah terdapat perdagangan dan pertanian. Setiap individu berusaha untuk menggunakan modalnya sehingga diperoleh hasil yang setinggi-tingginya. Dia pada umumnya tidaklah bermaksud untuk menunjang kepentingan umum dengan perbuatannya itu, dan tidak pula ia tahu sampai seberapa jauhkah penunjangnya itu. Ia berbuat itu hanya untuk kepentingannya sendiri, hanya untuk keberuntungannya sendiri. Dan dalam hal ini ia dibimbing oleh suatu “tangan gaib” untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan utamanya. Dengan mengejar kepentingan pribadinya seperti itu, ia akan mendorong kemajuan masyarakat dengan dorongan yang seringkali bahkan lebih efektif daripada kalau ia memang sengaja melakukannya.
Dahulu, di zaman pemerintahan Lodewijk XIV, Colbert pernah bertanya kepada seorang industriawan yang bernama Legendre: “apakah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah bagi kebaikan dunia usaha (business) ?”, Legendre menjawab singkat, “laizzes nous faire (tinggalkan kami sendiri−leave us alone)”. Akan tetapi, Colbert hanya mencibir bibir saja mendengarkan jawaban Legendre itu. Hanya Adam Smith yang mendengarkan jawaban itu, sesudah berlalu puluhan tahun. Istilah itu yang kemudian disingkat menjadi laizzes faire lalu menjadi pedoman pokok kaum liberal (pengikut faham Adam Smith), serta menjdi motto kaum kapitalis.
Selain The Theory of Invisible Hand, topik lain yang dibahas Smith dalam bukunya The Wealth of Nations antara lain tentang kerja sebagai sumber kekayaan; nilai dan penetapan harga; teori pembagian pendapatan yang mencakup sewa, upah dan laba; akumulasi modal dan dasar-dasar ilmu negara.
Selain Smith, tokoh-tokoh madzab klasik antara lain: Thomas Robert Malthus (1766-1834) yang digelari bapak ilmu penduduk, Jean Baptiste Say (1767-1832) yang terkenal karena hukum pasarnya, David Richardo (1772-1823) yang terkenal karena hukum hasil yang semakin menurun (law of diminishing of return), dan lain-lain.
Dalam pandangan David Richardo, dalam usaha membangun ekonomi itu kepentingan rakyat banyak harus dinomorsatukan sebab mereka itulah yang akan menikmati hasil kemajuan pembangunan ekonomi itu. Di lain pihak, Malthus berpandangan bahwa kaum pemilik modal adalah tokoh sentral dalam pembangunan ekonomi itu. Jika para pemodal (kaum kapitalis) ini dibebaskan berusaha, usaha itu akan dengan sendirinya memberi manfaat kepada masyarakatdi sekitarnya. Misalnya, ika sebuah pabrik didirikan, demikian jalan berfikir Malthus, pabrik itu akan mengambil penduduk sekitarnya sebagai tenaga kerja, akan dibangun pula jalan, didirikannya sekolah, masjid, rumah sakit, dan sebagainya. Semakin besar pabrik atau perusahaan itu, maka semakin makmur pula penduduk sekitarnya. Jika semua perusahaan dibiarkan maju, maka secara keseluruhan penduduk akan mendapatkan manfaatnya. Dan makmurlah seluruh negeri.
Akan tetapi, ekonomi liberal yang diperkenalkan Smith ini ternyata membawa bencana. Setelah dijalankan di Amerika Serikat, perekononian jatuh ke tingkat serendah-rendahnya karena para kapitalis yang telah demikian makmurnya masih juga ingin bertambah makmur, dan inilah yang dikenal sebagai zaman malaise atau depresi besar. Dan pada kenyataannya, aliran liberalisme amat memanjakan kaum kapitalis.
4.      Aliran Keynesian
Hal penting yang diperkenalkan Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) adalah tentang kebijakan ekonomi pemerintah yang dikenal dengan kebijakan fiskal. Kata Keynes, untuk mendorong ekonomi yang ambruk, pemerintah harus turun tangan dengan cara melakukan pengeluaran besar-besaran guna membuka usaha sehingga dapat menciptakan lapangan kerja baru. Menurut Keynes, hanya dengan cara ini perekonomian yang dilanda depresi bisa dipulihkan. Para ahli ekonomi zaman sekarang menyebut aliran ini adalah aliran kapitalisme.
5.      Aliran Marxisme/Komunisme
Tokoh-tokoh dari aliran ini adalah Karl Heinrich Marx, seorang pendeta Nasrani dari Jerman dan Frederick Engels. Marx sangat merasa rihatin dengan penderitaan rakyat akibat keganasan  kaum kapitalis. Pemikiran Marx, karena semakin banyaknya kekacauan yang disebabkan merajalelanya kaum borjuis (kapitalis), alangkah baiknya jika bisa dibangun sebuah masyarakat tanpa kelas, di mana semua orang adalah proletar (masyarakat kebanyakan), dan seluruh kekuasaan ekonomi ada di tangan mereka.
Ide Marx dituangkan dalam buku yang berjudul Das Kapital (Modal) yang terbit tahun 1917. Dalam buku ini dinyatakan bahwa negara harus diperintah oleh rakyat dan berbentuk diktator ploretariat. Pemerintahan oleh rakyat inilah yang memegang seluruh kekuasaan. Pemerintah hanya melaksanakan pemerintahan atas nama kaum proletar.
6.      Aliran Neoklasik
Aliran ini berpendapat bahwa jika terjadi masalah dalam perekonomian, biar perekonomian itu sendiri yang memperbaikinya. Dengan kata lain, kebijakan fiskal yang diperkenalkan oleh Keynes itu tetap mereka nyatakan haram karena mengizinkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Sebagai gantinya, mereka mengusulkan dipakainya kebijakan moneter. Dengan kebijakan moneter ini, mereka mengusulkan agar jika timbul masalah ekonomi maka cukuplah diadakan penyesuaian-penyesuaian di bidang moneter saja. Seperti, seperti menyesuaikan jumlah uang yang beredar dan menetapkan suku bunga. Paham neoklasik ini sering disebut sebagai paham moneterisme.

C.    Ekonomi sebagai Ilmu
Ilmu pengetahuan dapat diibaratkan seperti pohon yang sangat besar dan memiliki ranting-ranting yang banyak sehingga rantingnya menutup sudut-sudut cakrawala serta tingginya mencapai awan. Akan tetapi, sejak muncul di tanah pohon itu telah berwujud dua batang pokok. Kedua batang itu adalah ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.
Dari segi lain, ilmu itu dibagi dua. Yaitu ilmu murni dan ilmu terapan. Ilmu murni bertugas untuk menyempurnakan dan menjaga kelangsungan hidup serta pengembangan ilmu itu sendiri. Sedangkan ilmu terapan gunanya adalah untuk diterapkan di dalam hidup dan kehidupan manusia sehari-hari. Ilmu ekonomi, misalnya, yang bagian-bagiannya bernama ilmu ekonomi murni atau Economic Theory dan ilmu ekonomi terapan.
Ilmu ekonomi termasuk dalam ilmu sosial. Ilmu sosial adalah ilmu tentang manusia serta masyarakat yang sekelompok manusia hidup di dalamnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa subyek ilmu ekonomi itu ada dua. Pertama adalah manusia itu sendiri, dan kedua adalah badan-badan yang terlibat di dalam kegiatan perekonomian. Misalnya toko, perusahaan, departemen keuangan, lembaga konsumen, dan lain-lain. Semuanya itu adalah subyek ilmu ekonomi. Adapun obyek ilmu ekonomi adalah cara-cara serta tindakan-tindakan yang ditempuh oleh manusia di dalam mengalokasikan sumber-sumber yang ada.
Seorang ahli ekonomi berkebangsaan Amerika Serikat yang bernama Leonard Silk pernah menyatakan dalam bukunya sebagai berikut.
“Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang kekayaan dan merupakan suatu bagian yang penting daripada studi tentang manusia. Hal ini disebabkan karena sifat manusia yang telah dibentuk oleh kerjanya sehari-hari, serta sumber-sumber material yang mereka dapatkan daripadanya. Secara umum bisa dikatakan bahwa ilmu ekonomi berbicara tentang tingkah laku serta nilai-nilai perseorangan maupun masyarakat.  Anda tidak akan dapat memahami keadaan masyarakat anda tanpa memiliki bekal pengetahuan, walaupun hanya sekadar saja, tentang ilmu ekonomi.”
Ilmu ekonomi adalah ilmu sosial, ilmu tentang masyarakat yang berlaku untuk sebuah “masyarakat seorang” dan untuk masyarakat banyak orang, dan bahkan masyarakat negara atau masyarakat dunia. Justru di sinilah kelebihan ilmu ekonomi dari ilmu-ilmu yang lain sebab ilmu yang lain itu akan segera “mati” (selain ilmu ketabiban barangkali) apabila diterapkan pada “masyarakat seorang”.
Lebih dari itu, ilmu ekonomi mendapat julukan sebagai The Queen of Social Sciences, Maharaninya ilmu-ilmu sosial. Sebab, ilmu ekonomi adalah satu diantara ilmu-ilmu sosial yang pertama sekali menggunakan metode kuantitatif di dalam analisis-analisisnya, dan hingga sekarang ini merupakan ilmu yang paling banyak memakai teknik-teknik matematika dan statistika di kalangan ilmu sosial. Kuantitas itu sendiri artinya adalah jumlah atau banyaknya. Di dalam ilmu ekonomi, hampir semua masalahnya dapat dinyatakan secara kuantitatif, misalnya kuantitas padi hasil panen tahun ini di suatu daerah, kuantitas rupiah yang dibelanjakan oleh suatu keluarga untuk konsumsi, volume minyak yang dihasilkan dari suatu pengeboran di suatu daerah, pendapatan per kapita penduduk, dsb. Karena kebanyakan masalah ekonomi dapat dinyatakan secara kuantitatif seperti itulah, para ahli serta pemikir ekonomi dapat mempergunakan metode kuantitatif di dalam analisis-analisis mereka.
Selain metode kuantitatif, terdapatlah metode kualitalif. Sebuah contoh sederhana menggunakan analisis yang bersifat kualitatif: “kalau harga naik, jumlah suatu barang yang dibeli masyarakat akan berkurang,” sedangkan sebuah analisis kuantitatif daat menyatakan: ”kalau harga naik sekian rupiah, maka setelah memerhatikan data informatif yang diperoleh serta kemudian memperhitungkannya dengan cermat, jumlah barang yang dibeli masyarakat akan berkurang sebanyak sekian.”
Menurut Quetelet, “taraf kesempurnaan yang dapat dicapai oleh suatu ilmu dapat diukur melalui tingkat perhitungan ilmiah yang dapat dilakukan di dalam ilmu tersebut,” dan “perhitungan ilmiah” dapatlah diartikan sebagai analisis kuantitatif. Dalam ilmu-ilmu sosial yang lain, pengertian serta besaran-besaran yang dipersoalkan sering kali tidak dapat dinyatakan secara kuantitatif sehingga seringkali pula tidak dapat dianalisis dengan memakai metode-metode matematika dan statistika. Akan tetapi, bukan berarti ilmu ekonomi adalah ilmu yang ;aling penting, paling berguna dan paling hebat. Sebab tidak ada satu ilmu pun yang memiliki sifat demikian. Semua ilmu itu sama pentingnya dalam mewujudkan kebenaran dan kesejahteraan umat manusia.
Terkait dengan hal itu, ilmu ekonomi memang mempunyai dua macam alat utama untuk analisis-analisisnya. Kedua alat itu adalah:
1)      Metode induksi dan metode deduksi. Metode induksi adalah suatu metode penyidikan di mana dari hal-hal khusus disimpulkan menjadi hal-hal yang bersifat umum. Sedangkan metode deduksi sebaliknya.
2)      Matematika dan statistika. Dengan matematika (khususnya metematika ekonomi) orang merumuskan fungsi-fungsi yang berlaku diantara peubah-peubah (variabel-variabel) ekonomi. Adapun statistik memiliki sifat yang hampir berbalikan dengan matematika. Statistika dilaksanakan dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari dunia nyata. Setelah data terkumpul, maka dengan menggunakan cara-cara yang terdapat di dalam statistika dan berdasar pada teori ekonomi, ditariklah kesimpulan yang berlaku umum tentang kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat yang diselidiki itu. Dengan begitu, statistika erat hubungannya dengan teori ekonomi terapan.
D.    Pentingnya Ilmu Ekonomi
Banyak sekali orang yang mencoba untuk mencari jawaban atas pertanyaan Why Study Economics ? setiap orang mempunyai alasannya masing-masing. Akan tetapi, menurut John Maynard Keynes (yang dianugerahi gelar Lord oleh Istana Buckingan, Inggris dan dijuluki Founder of the New Economics) dalam bukunya yang masyhur: The General Theory of Employment, Interest and Money (1936):
“.............pendapat-pendapat para ahli ekonomi dan para filsof politik, baik yang salah maupun yang benar, lebih kuat daripadanya yang sering disangka orang. Memang, benar bahwa dunia ini dikuasai sebagian kecil orang saja. Orang-orang praktisi, yang merasa diri mereka terbebas sama sekali dari setiap pengaruh intelektual, pada umumnya bahkan mereka merupakan hamba sahaya dari para ahli ekonomi yang telah tiada. Orang-orang gila yang sedang berkuasa, yang mendengar suara-suara di angkasa, telah menyaring kegilaan mereka dari beberapa coretan akademis yang berasal dari beberapa tahun berselang. Saya yakin bahwa kekuatan vested interest itu terlampau dilebih-lebihkan jika dibandingkan dengan pelanggaran atau penyadapan pendapat yang dilakukan dengan pelan-pelan itu.”
Sedangkan jawaban Samuelson yang dijuluki an all-round genius atas pertanyaan Why Study Economics ? adalah, untuk menjawab pertanyaan itu maka jawabannya akan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pentingnya ilmu ekonomi untuk orang seorang. Kedua, pentingnya ilmu ekonomi untuk dunia usaha. Ketiga, pentingnya ilmu ekonomi untuk bangsa dan negara.

MOTIVASI MARIO TEGUH





















ARTIKEL PENDIDIKAN




PENDIDIKAN YANG “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA DAN MEMAJUKAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA”
H. Soedijarto

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti dapat dibaca dalam kutipan berikut ini:
“kemudian dari itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.........
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa ukuran utama bagi keberhasilan Pemerintah Negara Indonesia seperti yang digariskan oleh Para Pendiri Republik Indonesia seharusnya adalah: (1) terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dimana pun darah Indonesia tumpah termasuk darahnya para TKI, harus terlindungi; (2) majunya kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat; (3) cerdasnya kehidupan bangsa; dan (4) bermartabatnya kedudukan Indonesia dalam percaturan global baik politik, ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); dan bukan terlaksana tidaknya demokrasi sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan.
Dilihat dari kutipan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, tampaknya para pendiri Republik yang cendikiawan dan pelajar sejarah peradaban dunia sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dunia telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik ekonomi politik dan iptek.
Para pendiri sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan nusantara satu per satu dikuasai oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris dan Belanda). Akibatnya, selama 350 tahun penghuni nusantara secara kultural dalam status quo, sebagian besar rakyat belum tersentuh oleh peradaban modern. Oleh karena itu memasuki abad ke-20 tidak ada pilihan lain kecuali membangun Indonesia menjadi Negara modern yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan berorientasi iptek dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya.
Karena itu penulis menyimpulkan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” artinya  membangun Indonesia menjadi negara yang maju, modern, dan demokratis, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Untuk mewujudkan cita-cita itu dari masyarakat yang berbudaya feodal tradisional, dan paternalistik diperlukan suatu proses transformasi budaya, yang dalam bahasa Bung Karno memerlukan sejumlah revolusi dalam satu generasi, yaitu revolusi dalam cara berfikir dan bersikap baik dalam bidang politik, ekonomi, industri, sosial-budaya, dan iptek.
Lantas, “bagaimana wujud sistem pendidikan (persekolahan) yang relevan dengan tuntutan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan budaya nasional ?” mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sama halnya dengan menjawab pertanyaan “pendidikan seperti apa yang dapat melahirkan manusia Indonesia yang mampu mendukung terwujudnya “kehidupan yang cerdas” yang maju kebudayaan nasionalnya ?”.
Sesungguhnya serangkaian Undang-Undang pendidikan nasional dari nomor 4 tahun 1950 dan Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 dan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 telah menggambarkan wujud manusia yang berpendidikan. Sebagai ilustrasi adalah:
(1)  Undang-Undang nomor 2/1989 menggambarkannya dalam rumusan:
“manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yng Maha Esa, berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”
(2)  Undang-Undang nomor 20/2003 menggambarkannya dalam rumusan berikut:
“manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tampak para pendiri Republik mengidealkan kondisi kehidupan bangsa yang demikian karena kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1945 tingkat perkembangan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan abad ke-20 baik ekonomi, politik dan iptek jauh tertinggal dari negara-negara di dunia.
Di bidang ekonomi kita adalah produsen bahan mentah dan pasar segala produk industri, di bidang iptek, kita adalah konsumen iptek produksi negara lain, di bidang politik kita belum berpengalaman menyelenggarakan pemerintahan modern yang demokratis, baru dalam bentuk cita-cita, di bidang kebudayaan kita lebih banyak ber-Bhinneka Tunggal Ika, kecuali bahasa Indonesia.
Hal ini terjadi karena pada saat dunia barat yang kemudian menjadi negara maju memasuki era industrialisasi, Indonesia tenggelam ke dalam cengkraman penjajah, elite Indonesia baru berkenalan dengan iptek pada permulaan abad ke-20, 400 tahun tertinggal dari dunia maju dalam iptek sebagai modal berpikir, bekerja, dan memecahkan masalah dan memajukan masyarakat. Kini hampir 60 tahun setelah Indonesia bertekat mencerdaskan kehidupan bangsa, belum juga terwujud. Fenomena berikut merupakan bukti belum cerdasnya kehidupan bangsa:
(1)  Ketidakmampuan kita untuk tidak kekurangan air bersih dan bahan makanan di musim kering;
(2)  Ketidakmampuan kita untuk mengatasi banjir dan tanah longsor di musim hujan;
(3)  Ketidakmampuan kita menemukan obat bagi penyakit yang berulang (secara periodik) mewabah di Indonesia seperti demam berdarah;
(4)  Ketergantungan kita terhadap teknologi negara lain;
(5)  Ketidakmampuan kita untuk menemukan, mengolah, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(6)  Ketergantungan kita kepada impor hasil bumi yang seharusnya menjadi negara pengekspor;
(7)  Ketidakmampuan kita menjaga keutuhan negara bangsa Indonesia seperti lepasnya Timor Timur, Pulau Sipadan dan Ligitan, dan berbagai masalah perbatasan yang kritis; dan
(8)  Ketidakmampuan kita mengembangkan strategi yang komprehensif dan terintegrasi dengan dukungan yang kuat dari seluruh rakyat untuk mengatasi krisis multidimensi merupakan indikator belum cerdasnya kehidupan bangsa.
Pertanyaannya adalah, mengapa setelah puluhan tahun Pemerintah Republik Indonesia dapat sepenuhnya menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk seluruh wilayah Indonesia kita belum mampu mewujudkan manusia Indonesia seperti yang diharapkan ? dalam pandangan penulis, hal ini terjadi karena penyelenggaraan pendidikan nasional baik dari segi manajemen, pembiayaan, proses pembelajaran, sistem evaluasi, sistem seleksi, sistem promosi, maupun dari materi pendidikan yang merupakan ciri esensial dari suatu sistem pendidikan yang relevan dengan amanat UUD 1945 belum terwujud.
Manusia yang bermoral, berdisiplin, beretos kerja tinggi, dan mampu menguasai dan menerapkan iptek serta demokratis dan bertanggung jawab tidak dapat dilahirkan dalam sistem pendidikan sekolah dengan peserta didik tanpa buku pelajaran, tanpa lapangan olaraga, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa guru yang tidak berkomitmen kepada pendidikan anak karena rendahnya insentif dan kesejahteraan yang diterima dan tanpa segala kemampuan, nilai dan sikap, sehingga sekolah hanya menjadi tempat peserta didik untuk mendengar, mencatat, menghafal, dan latihan menjawab soal-soal ujian. Dan, inilah kondisi lembaga pendidikan Indonesia pada umumnya dari SD bahkan sampai tingkat Universitas.
Dengan demikian agar dapat menghasilkan manusia yang berkarakteristik seperti seperti yang diharapkan maka perlu dirancang dan diselenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang bermakna proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai dan sikap seorang Indonesia modern yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk itu, Komisi Internasional UNESCO untuk memasuki abad ke-21 merekomendasikan empat pilar belajar, yaitu:
  1. Learning to Know
Learning to Know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Sasaran terakhir dari penerapan pilar Learning to Know adalah lahirnya suatu generasi yang mampu mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK sebagai bagian dari kebudayaan.
  1. Learning to Do
Proses pembelajaran ini memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara teori telah dipelajari.
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan IPTEK. Hal ini selaras dengan pandangan Whitehead, 90 tahun yang lalu, yang memandang bahwa tujuan akhir dari upaya pendidikan adalah penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Ini sangat relevan dalam technology knowledge based economy, suatu masyarakat yang tenaga kerjanya tidak cukup hanya menguasai keterampilan motorik dan mekanistik, tetapi dituntut mempunyai kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti controlling, monitoring, maintaining, disigning, dan organizing.
  1. Learning to Live Together
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi telah mengubah dunia menjadi desa global. Komisi Internasional mengakui sulitnya pendidikan abad ke-21 menciptakan kerukunan, toleransi dan saling pengertian dan bebas dari prasangka. Untuk itu, pendidikan dituntut tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian dan tanpa prasangka.
Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakikat manusia adalah beragam, tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Seperti kegiatan Camping.
  1. Learning to Be
Tiga pilar yaitu Learning to Know, Learning to Do dan Learning to Live Together ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah secara cerdas, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya.
Dalam bahasa UU No 2/1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemampuan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati, atau dalam kamus psikologi disebut memiliki Emotional Intellegence. Inilah kurang lebih makna Learning to Be, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar.
Adalah keyakinan profesional penulis bahwa hanya dengan menyelenggarakan sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana pembelajaran tersebut, yakni Learning to Know, Learning to Do dan Learning to Live Together, dan Learning to Be, fungsi konstitusional dari diselenggarakannya satu sistem pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional bangsa Indonesia akan dapat terlaksana.*